Sabtu, 12 Agustus 2017

Selamat Tinggal Atau Sampai Jumpa?


Remajaku belum lama kumulai saat langkahku harus berpijak di atasmu, tanah dari negeri yang asing.

Untuk setiap hari demi hari, menyelesaikan bab demi bab perjalanan yang telah Allah takdirkan untukku.

Panas yang awalnya menyiksa, kini menjelma menjadi kawan. Sebagaimana asing yang dulunya mengelabungi, kini berubah menjadi akrab. Hamparan tanah cokelat menyapu penglihatan. Debu dan terik yang sudah menjadi kelaziman, adalah satu-dua gambaran akan menantangnya kehidupan di Afrika ini.

Aku tahu betapa banyak episode menyakitkan yang kulalui di sini. Aku tahu seberapa banyak yang kukorbankan untuk bertahan. Pun aku tahu seberapa dalam luka dan perih yang terukir di negeri ini. Tapi aku juga tahu betapa berharganya setiap pelajaran dan pengalaman yang kuraih, bersama setiap senyum semangat dan bahagia yang terukir. Pergi dan kembali, pergi dan kembali lagi. Tahun demi tahun berlalu, dan setiap detik yang terlalui pun berubah menjadi kenangan.

Lucunya, aku tak menyesal. Tak pernah.
4 tahun yang terlihat singkat cukup membuatku tumbuh. Tak kukatakan bahwa kini aku lebih baik, meski kuharap begitu. Namun dapat kusadari bahwa aku kian memahami. Bahwa kini aku lebih mengerti.

Rasanya baru kemarin saat aku berpamitan dengan suami, "Kakak aku ke sekolah dulu, ya!" seruku sebelum menutup pintu rumah. Kugandeng ransel di pundak, menyusuri jalanan berpasir cokelat menuju Jami'ah. Jalanan yang jika hujan deras turun, akan menjelma menjadi kolam susu. Langkahku penuh semangat menuju sekolah. Iya, selalu kusebut seperti itu.

Lalu aku menyadari telah tiba pada hari ini. Bukan ransel yang kugandeng. Tapi baby carrier yang menopang seorang bayi kecil menggemaskan (Maasyaa Allah).
Jalan yang kususuri seringkali masih sama. Kolam susu dadakan, becek, cokelat. Kadang berganti dari menumpangi riksyah, bis, hingga mobil sejenis angkot. Berpindah dari satu scene ke scene berikutnya.

Sampai detik ini aku masih juga rajin bertanya akan keberadaan mimpi dan citaku. Akan konsistensi dan jalan-jalan yang harus kutempuh. Kuyakini dengan baik, bahwa setiap orang memiliki takdir perjalanannya. Tugas kita hanya taat dan menjalaninya.  Lalu, seperti apakah jalanku?

Suatu hari seseorang datang berkata, "kamu bukan menyerah. Kamu sudah cukup berjuang. Saatnya kamu memilih jalan yang lain." Iya, kadang aku berpikir demikian. Bahwa seberapa banyak lagi yang harus kuperjuangkan untuk bertahan? apakah dayaku memang sudah habis untuk berpijak di sini. Jika memang begitu, baiklah. Aku tak masalah.

Lalu aku akhirnya mencoba menoleh pada jalan yang lain. Dengan banyak harapan dan doa, aku bersiap mengakhiri jalanku yang ini. Yang telah keperjuangkan sedemikian itu, yang tak pernah ada sesalku menapakinya, yang aku bersyukur penuh atas setiap yang telah Allah takdirkan di sini.  Jalan yang hanya akan akan menyisakan kerinduan.

Terima kasih untuk 4 tahun ini. Aku tahu bahwa Hari-hari itu akan kukenang sepanjang hidupku. Mungkin pula akan menjadi cerita- cerita pengantar tidur anak-anakku, hari ini hingga nanti.

Di Sudut Kota Khartoum, 11 Agustus 2017.

Aisyah Ikhwan Muhammad,
ketika bersiap mengucapkan selamat tinggal atau sampai jumpa? 😊


Jumat, 04 Agustus 2017

HIJRAHKU, HIJRAHMU...


Jika saja "Hijrah" hanya milik para Fasiqin, atau sudah demikian tak berhaknya mereka atas sapaan dan perlakuan keimanan, maka mungkin Mukminin tak akan diseru pada ayat: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar." (QS: At Tahrim:8)

Namun Allah Yang Maha Lembut, memanggil sekalian manusia yang di dalam dadanya masih ada iman sebagai "alladziina aamanuu": Orang-orang yang beriman. Ia tidak hinakan hamba-Nya dengan panggilan menyesakkan; walau buruk dosa telah berhimpun di sekujur tubuhnya.

Lantas, siapa kita yang dengan pongahnya melazimi taubat hanya 'jatah' mereka  yang nampak maksiatnya? Diketahui dosa-dosanya? Dikenal kenistaannya?

Siapa yang mengajari kita bahwa "Hijrah" hanya perbuatan sekali seumur hidup? Sedang Allah saja mengampuni hamba-Nya setiap kali ia bersimpuh menyesali diri dalam taubat.

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat” (HR Muslim 2759)

Bukankah dosa ada yang dzahir adapula yang batin?

Anda, yang boleh jadi ditatap oleh makhluk dengan penuh kekaguman, sejatinya harus lebih banyak menyimpan penyesalan sekaligus kesyukuran; atas maksiat yang ditutupi dan aib-aib yang dijaga. Tak pernah ada penjaminan bahwa selamanya dosa kita akan rapi dalam sepi dan rahasia.

Di sisi lain, adapula yang menganggap: "Hijrah hanya bisa dirasakan bagi mereka yang punya masa lalu kelam."

Tidak salah mungkin.

Hijrah memang pada sebagian besarnya dirasai dengan amat mendalam oleh mereka yang pernah tenggelam dalam kejahilan. Kita mengenalnya secara jamak demikian. Namun membatasi Hijrah hanya pada mereka yang semisal, juga tidak tepat. Sehingga anak-anak yang terlahir dan bertumbuh dalam lingkungan religius seolah tersisih secara otomatis.

"Ah, kamu mah enak. Bapakmu Ustadz. Kalau kita, harus berjuang dulu baru bisa pakai jilbab." Seringkali kalimat semisal ini dilontarkan pada mereka yang terlihat beruntung karena bapaknya sudah Hijrah sebelum ia lahir.

Pada beberapa kesempatan, bahkan seolah menjelma eksklusifitas: Mereka yang tak melalui adegan heroik nan menyedihkan seakan dikeluarkan dari jajaran para "Pehijrah".

Hati-hatilah, Kawan. Sekali lagi. Mawaslah terhadap diri yang tanpa disadari mulai saling berbangga atas keberhasilan melewati ujian. Sayang sekali, jika kepayahan dalam cobaan itu, tak berarti lagi di mata Allah; Sebab ujub pada diri, sebab memandang rendah orang lain. Atau sebab iri pada nikmat yang Allah bagi dalam rupa-rupa yang tak sama.

Aisyah radhiallahu 'anha tak pernah berkurang kemuliaannya hanya karena bapaknya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu. Hasan dan Husein radhiallahu 'anhumaa tak lebih rendah derajatnya dari Ikrimah Bin Abi Jahl hanya karena kakeknya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sungguh, tak ada tradisi 'berbangga' dengan jumlah luka di jalan dakwah dalam keseharian manusia-manusia terbaik itu.

Pula amat sempit sekali jika hijrah kita maknai dengan kenikmatan yang hanya boleh dicicipi oleh mantan orang-orang 'awwam saja. Padahal benderang sekali, seruan Allah di atas ditujukan kepada seluruh yang di dalam dadanya masih ada iman; agar mereka bertaubat dengan  semurni-murninya taubat. Agar mereka terus berhijrah menjadi dirinya yang terbaik.

Maka izinkan saya katakan: Hijrah adalah hak setiap kita. Hijrah kita mungkin tak sama. Tapi selama ia karena Allah, telah tertulis pahala yang sempurna.

Kita yang merasa sudah hijrah, telah merasa kaya kah dari pembaharuan hijrah?

Sedang di mata kita mungkin ada pandangan haram, di lisan dan telinga kita mungkin ada ghibah, di tangan kita mungkin ada kedzhaliman.

Kita membutuhkan Hijrah itu. Tiap hari. Tiap detik. Tiap masa dalam hidup kita. Tak pernah ada titik perhentian selain kematian.

Tak perlu engkau dianggap hebat, senior atau berpengalaman dalam dakwah, dalam pengorbanan, dalam ibadah, dalam ilmu.

Sebab yang melabeli itu semua hanyalah makhluk yang untuk keberlangsungan hidupnya saja membutuhkan hewan-hewan tak berakal  dan tanaman-tanaman tak bernyawa sebagai penegak tulangnya.

Hijrahlah! Temukan Hijrahmu. Kejar ia. Pertahankan ia. Rawat dalam jiwa yang penuh kerendahan diri di hadapan Rabb yang kepadaNya segala sesuatu dikembalikan.

Al Faqirah Ilallah,
Nafisah Ikhwan.

Jumat, 28 Juli 2017

Mereka.


Hari ini saya sadar.

Bahwa ternyata memang, akan selalu saja ada orang-orang yang senangnya mengomentari hidup orang lain. Menyudutkan dan mendzalimi, memfitnah dan menghibahi. Sementara dirinya bahkan tak memahami secara utuh.

Oh, tidak! Ternyata memang mereka tak ingin memahami. Kukatakan sekali lagi, mereka tak ingin memahami. Mereka menutup telinga dan hanya ingin menggunakan lisannya di luar batas.

Hari ini, ada banyak sekali cara untuk meyakiti orang lain. Berlindung dengan kalimat, "jangan baper!" membuatnya seakan sah-sah saja menunjuki orang-orang yang dianggapnya tak sesuai dengan keinginan.

Kalau saja mereka ingin lebih mendengar. Kalau saja mereka ingin lebih menahan diri. Kalau saja mereka ingin memahami secara utuh lebih dulu. Atau bahkan kalau saja mereka tak usah mengomentari hal-hal yang tak mereka ketahui.

Oh, kalau saja mereka... mungkin esok hari mereka tak akan begitu menyesali. Kini, setelah mereka akhirnya paham dan mengerti, tinggallah penyesalan.

Mereka... mereka yang terdzalimi dan memilih bungkam bersabar dan mengadu pada RabbNya.
Mereka... mereka yang akhirnya menyadari dan penuh sesal atas perlakuan terhadap saudaranya sendiri.
Mereka... mereka yang tidak lain adalah kita.

#Wallahi, betapa Mulia kesabaran itu. Pun betapa sulit menggapainya. Hanya hati-hati yang bening dan tulus mengharap RidhoNyalah yang mungkin bisa mencecap indah nikmatnya buah dari kesabaran.

Khartoum, Jumat 28 July 2017.

Aisyah Ikhwan Muhammad, ketika menanti mpasi Bang Dogan hangat.



Jumat, 21 Juli 2017

Untukmu Teman...


Teman...

Kadangkala, tidak setiap hal tentang cerita kehidupan orang lain perlu kamu pertanyakan.

Meski begitu besar keingintahuanmu, begitu dalam rasa penasaranmu. Sesekali, cobalah untuk menahannya.

Bagimu, mungkin pertanyaan itu hanyalah sepele dan biasa. Setelah kamu dapatkan jawaban, puaslah kamu dan selesai sudah penasaranmu.

Tapi tahukah teman, bagi sebagian mereka, pertanyaanmu itu akan meninggalkan rasa yang akan kamu mengerti kelak apabila berada di posisinya.

Ayolah, teman. Tidak sesulit itu menahan diri. Bukankah jika mereka ingin, suatu hari mereka akan berbagi juga akan ceritanya?
Jika kamu memang betul peduli, bukankah mendoakannya diam-diam justru lebih indah dan menjadi bukti kepedulian yang begitu besar?

Lalu, Untukmu teman-teman...

Yang hari-harinya dihinggapi begitu banyak pertanyaan. Yang tentu tak bisa kamu ketahui tulus tidaknya.

Pertanyaan yang hari ini membuatmu jenuh, esok hari membuatmu sedih. Menyisakan setetes air mata yang kau tahan-tahan. Menunggu waktu malam dimana bisa kamu adukan setiap gundahmu pada Rabb yang Maha Mendengar setiap Doa.

Teman, bersabarlah. Terkadang buah dari kesabaran akan terasa jauh lebih nikmat. Hari ini kamu mungkin bersedih, namun esok hari hanya Allah yang tahu.

Niatkanlah setiap kesabaranmu berbuah pahala disisiNya. Tak perlu kamu jawab setiap pertanyaan yang melukai hatimu. Sebab kelak dengan IzinNya, setiap pertanyaan itu akan terjawab juga dengan sendirinya.

Jangan bersedih teman, ada Allah bersamamu. 😊

Rabu, 28 Juni 2017

Tidak Harus Jago yang Penting Bisa.


Dulu waktu saya kecil Ummi pernah bilang, "jadi perempuan itu memang tidak harus jago masak layaknya chef, tapi paling tidak harus bisa masak."

Dulu, sewaktu hari pernikahan saya, saya sempat curhat ke Ummi sebelum akad, "Ummi, gimana nanti yaa, saya kan nda tau masak." Lalu Ummi jawab kurang lebih seperti ini, "Aisyah, santai saja. Masak itu kebutuhan. Nanti juga bisa kalau belajar."

Dulu, (oke ini paragraf terakhir dengan awalan kata dulu. Kesannya gue manusia dulu banget. 😑) saya itu orangnya tidak terlalu hobby masak. Tentu kecuali kalau saya lagi kepepet, Ummi tidak di rumah, dan lagi lapar. Paling bikin nasi goreng, mie instan, makaroni, telur, dan semacamnya. Tapiii, saya itu suka sekali mengamati Ummi masak. Karena Ummi bilang, kalau belum mau coba masak, lihat-lihat saja dulu. Kupas bawang saja dulu, belajar potong-potong, itu juga bagian dari masak. Semacam itu.

Nah, ternyata yang Ummi bilang itu memang benar saya rasakan sekarang. Masak itu kebutuhan. Mau makan, ya masak. Apalagi di rantau begini. Lalu saya juga jadi mengerti bahwa masak itu pasti bisa kalau mau belajar. Memang benar. Saya ingat sekali awal saya dan suami tinggal di Sudan 2013 lalu. Waktu itu kami belum membeli kompor, syukurnya ada rice cooker yang bisa digunakan multifungsi. Nah, saya pun dapat ide masak pake rice cooker ini hasil lihat dari Ummi sewaktu umrah dulu. Menu pertama di luar menu-menu biasa semacam nasgor, dll yang saya buat waktu itu adalah kentang goreng balado. Sesederhana namanya, hanya digoreng dan ditumis dengan bumbu yang dihaluskan. Saya juga ingat waktu itu menggoreng kentangnya di rice cooker. 😂 Lalu beberapa tahun berlalu, dan menu yang rasanya biasa sekali itu selalu saja direquest suami. Kok bisa? Mungkin nihh yaa ... mungkiiin, karena dibuatnya pake hati. Haha.

Jujur saja, saya bahkan belajar teknik memotong ayam dan membersihkan ikan dari youtube. 😑 Ya, sampai segitunya. Tapi saya suka. Saya menikmati. Meski sekarang ini tetap saja skill memasak masih biasa saja bahkan kurang mungkin. Tapi paling tidak apa yang saya masak bisa dimakan. Dan kebiasan saya mengamati Ummi masak sewaktu kecil itu, ternyata sangat berguna sedari awal saya punya niatan rajin masak. Haha. Jadi bagi yang cuek dengan dapur seperti saya dulu, tetap rajin-rajinlah mengamati orang memasak. Suatu hari nanti berguna juga.

Yang paling kerasa itu kalau lagi momen lebaran di rantau seperti ini. Alhamdulillah 'alaa kulli haal. Yang biasanya makan masakan Ummi, sekarang makan masakan sendiri. Dulu opornya Ummi, sekarang opor sendiri. Dulu galorica Ummi sekarang rendang sendiri. Di indo buras ketupat, di sini lontong rice cooker. 😂

Lalu saya mengingat-ingat, kenapa saya dan kakak-adik saya begitu jatuh cinta dengan masakan Ummi? kenapa kami selalu rindu? kenapa rasa masakan Ummi itu tidak ada duanya bagi kami? Maasya Allah.

Teryata memang benar kata Aba, bahwa masakan Ummi itu dengan cinta, anak-anak. Iya, betul sekali, Ba. Masakan Ibu untuk anak-anaknya itu berbeda. Seberapapun nikmat dan mewahnya masakan restaurant karya para chef ternama, dengan skill dan pengetahuan mereka soal masak - memasak, bagi seorang anak yang tumbuh dengan masakan Ibunya, tetap ia akan selalu rindu. Entah bagi orang lain masakan itu biasa-biasa saja. Tetap bagi anaknya luar biasa.

Karena pemahaman itu, saya yang tadinya sebelum nikah cuek dengan dapur, cuek dengan kompor dan segala macam tentang masak, akhirnya mau belajar masak. Dan surprisenya, saya enjoy. 😁

Beberapa hari yang lalu saat saya sedang sibuk di dapur, suami saya komentar,  "Isyah, nanti kalau kita sudah punya rezeki lebih, kita pekerjakan pegawai yah, biar kamu tidak perlu lagi capek kerjain pekerjaan rumah tangga, tidak perlu lagi capek masak..."

Lalu saya jawablah, "boleh bangeet, tapi pegawainya kerja yang lain saja selain masak. Bantu masak okelah. Tapi yang masak biar saya saja."

"Loh, kenapa? Nanti saya juga perkerjakan chef ternama, sayang...tenang saja!" Iye, suami saya memang suka over kalau bermimpi.😑

Haha, bukan begitu...

Jadi... saya itu punya satu cita-cita sederhana. Saya ingin menjadi yang memasak makanan keluarga kita. Kakak, kutanya yah, Kakak selalu rindu tidak dengan masakan mama? Pasti iya kan.

Nah saya apalagi, masakan Ummi itu selalu bikin kangeeen. Makanya saya pun ingin anak-anak kita nanti seperti itu. Kadang kita anak-anak selalu punya masakan-masakan tertentu yang jadi favorit kita. Kadang pula dalam sebuah keluarga, mereka selalu punya masakan khas favorit semua orang dalam keluarga tersebut yang selalu dirindukan.

Itu dia. Saya berharap suatu hari nanti, saat anak-anak kita tumbuh dewasa, kemana pun ia pergi, ia selalu punya salah satu hal sederhana dari sekian banyak hal, yang membuatnya rindu dan selalu ingin pulang pada kita. Salah satunya itu adalah masakan ibunya.

Kita bisa memulainya dari sekarang. Dari keluarga kecil ini. Jangan lihat hari ini, orangtua kita juga dulu memulainya dari hal kecil, bukan? Jadi mulai sekarang, jangan bosan-bosan jadi kelinci percobaanku yaa... anda harus siap memakan apapun yang kumasak, entah itu enak ataupun tidak. Hoho. 😁😎

Khartoum, Subuh hari lebaran ke-4

Aisyah Ikhwan Muhammad, ketika merindu masakan Ummi. 😄

Kamis, 15 Juni 2017

Sendiri?


Dulu, saya adalah orang yang amat tidak senang dengan keramaian. Lebih tepatnya, saya menyukai sendiri. Saya akan menghindar dari pusat keramaian, dan lebih memilih mengurung diri di kamar. Menyibukkan diri dengan berbagai macam hal. Saat itu saya pikir bersama keluarga dekat saja sudah cukup.

Lalu perjalanan membawa saya pada suatu episode yang akhirnya membuat saya sedikit... ya, sedikit mengubah persepsi saya akan 'sendiri'.

Hari itu, di suatu rumah di negeri orang, jauh dari sanak keluarga, untuk pertama kalinya saya menangis sendirian. Benar-benar sendiri, dan sedang memperbaiki gagang pintu yang rusak. 😑 Hari itu masih amat jelas di dalam benak saya. Menjelang maghrib, saat ghubar (badai pasir) dan padamnya lampu datang bersamaan, saya menangis sambil terus memutar obeng hingga terpasang dengan baik. Lalu saat pintu tersebut akhirnya bisa menutup, saya lalu melanjutkan adegan drama dengan menangis sesegukan terduduk sendiri. Hari itu, untuk pertama kalinya pula saya membenci sendiri.

Setelahnya saya sedikit berubah. Saya tidak lagi terlalu membenci keramaian. Meski kadangkala saya tetap saja masih bersembunyi ke dalam "gua" saat terdesak. Tetapi pada akhirnya saya pasti akan memilih untuk kembali keluar.

Sendiri tidak selalu menyenangkan rupanya. Ya, Allah memang menciptakan kita berpasang-pasangan. Kita pun hidup berjamaah bukan tanpa tujuan. Lalu saya akhirnya paham. Bahwa mungkin memang ada saatnya kita butuh sendiri, tapi ada saatnya pula kita butuh berada di tengah-tengah orang banyak.

Kadang saya bertanya, kenapa pula saya sangat suka sendiri? Apakah karena diri yang terlampau introvert? ataukah keramaian terlalu bising? atau mungkinkah karena saya hanya ingin menghindar dari pertanyaan dan pandangan yang melelahkan dari orang-orang? Entahlah.

Apapun itu, kita semua tahu, bahwa sejatinya setiap kita, tidak pernah benar-benar sendiri.

قال الله تعالى: ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛﺎﻥ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺭﻗﻴﺒاً

“Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu sekalian” (QS an-Nisaa’:1)

Selasa, 23 Mei 2017

Siapa Tahu Untuk Anakmu Nanti...


Sore itu, Kakak saya Nafisah yang akrab saya panggil Kakak Achi tengah sibuk mengepak pakaian anak-anaknya. Sebab selang  beberapa hari lagi ia akan meninggalkan bumi Sudan. Beberapa baju Abang Tiby anak Kakak Achi yang tak lagi muat dia tinggal saja. Saya masih ingat jelas saat dia bilang ke saya, "Aisyah.. ini baju Abang yang masih bagus-bagus kutinggal saja, nah. Kalau mauko kasi orang atau simpanmi saja. Siapa tahu untuk anakmu nanti." Saya yang mendengarnya hanya mengiyakan sambil tersenyum dengan setitik kesedihan di hati. Berharap hal itu benar akan terjadi.


Beberapa bulan setelahnya saya pun juga ikut pulang ke Indo. Saat packing barulah saya teringat dengan baju-baju abang tiby yang ditinggal tersebut. Karena tak ada waktu untuk memberikannya lagi pada orang, akhirnya saya lipat saja dan simpan alakadarnya di suatu tempat. Terbetik di hati, "siapa tahu untuk anakku nanti. Haha."


Kemudian Bulan demi bulan berlalu, hingga sampai pada bilangan tahun. Saya akhirnya kembali ke Negeri Sudan. Kali ini bersama Abang Dogan. (dan tentu saja bapaknya. 😅) Sebulan berlalu, kami akhirnya harus pindah dari rumah yang kami tempati. Dan malam ini saya sibuk packing karena besok kami sudah akan pindah. Dan coba tebak, Nafisah Muh Ikhwan! apa yang saya temukan di antara tumpukan pakaian yang lama tak disentuh. Ya! Baju-baju abang tiby saya temukan dengan lipatan yang masih sama persis saat saya simpan setahun lebih yang lalu. Langsung saja saya terngiang ucapan si mamak, "Siapa tau untuk anakmu nanti..." Oh ya Allah, bisa begini... Subhanallah 😢


Lagi yang membuat saya terharu adalah, baju-baju itu passs sekali dengan ukuran Abang Dogan saat ini. Seolah-olah memang direncanakan seperti itu. Dan memang benarlah adanya, bahwa telah Allah takdirkan demikian. Saya melipat kembali baju tersebut dengan banyak titik keharuan di hati. Alhamdulillah... hanya bisa bersyukur dan bersyukur.

"Simpan saja, siapa tahu untuk anakmu nanti." Ucap kakak achi satu setengah tahun yang lalu.

"Iya Kakak Achi, ternyata memang baju ini disimpan untuk anakku. " Ucapku baru bisa menanggapi hari ini.

Maasya Allah. Ternyata kadang, justru hal-hal sederhanalah yang membuat kita terkagum pada akhirnya.

Lalu saya kemudian bertanya-tanya, mengapa seringkali feeling si mamak itu (biidznillah) benar adanya?  hmm.. 🙄😄

#dramapackingmalam2 😂
Rabu, 22 Maret 2017

Catatan Untuk Diingat


Aku dulu tidak mengenalmu. Begitupun kamu tidak mengenalku. Kita adalah dua orang asing yang selama bertahun-tahun hidup tak pernah mengenal, bertemu, atau bahkan sekedar tau.

Kemudian tepat 4 tahun yang lalu, kau datang dalam hari-hari remajaku yang baru saja dimulai. Di saat pernikahan bahkan belum terbayang dalam benak citaku.

Aku masih ingat, saat harus mengulang istikharah demi memohon ketetapan hati. Lalu Allah sisipkan keberanian itu di dalam hati untuk kita memulai babak baru dalam hidup kita.

"Jika disuruh memilih antara meraih cita-cita atau berkhidmat kepada suami, yang mana yang akan engkau pilih?" Tanyamu pada hari dimana nadzar dilangsungkan.

"Aku memilih meraih cita-citaku, sebab di antara cita-citaku adalah berkhidmat pada suami." Jawabku saat itu.

4 Tahun berlalu. Musim terus berganti, begitupun kita masih terus belajar. Belajar menjadi lebih baik. Belajar bersyukur atas setiap nikmat. Belajar bersabar atas setiap keadaan.

Setelah ini tahun masih akan terus berganti, dan kita akan tetap di sini, bersama. Terus belajar dan belajar. Biidznillah.

Aku selalu teringat nasehat Aba, "Apapun yang akan kau hadapi dalam rumah tangga dan kehidupan ini, hadapilah dengan keimanan."

Hari ini, 4 Tahun yang lalu. #230313

Thank you, Allah ❤


Makassar, 23 Maret 2017.

Aisyah Ikhwan Muhammad. 

Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers