Senin, 03 Oktober 2016

Cuma Kamu.


Cuma kamu.

Cuma kamu yang bisa bikin saya ngambek, asli ngambek! untuk sedetik kemudian tertawa lagi. -_-

Cuma kamu yang bisa jadi orang paling nyebelin tapi saya sayang.

Cuma kamu yang bisa bikin saya rindu walau seharian kita sama-sama.

Cuma kamu yang bisa bikin saya cemburu dengan livescore dan notifikasi wahatsapp.

Iya, kamu yang cinta sekali sama peci malaysiamu. Yang paling pusing dengan noda di sepatumu, yang kalau makan masih belepotan.

Kamu yang mudah memaafkan dan meminta maaf.

Kamu yang selalu ingat bawa zalabiyah sepulang dars.

Pernah suatu hari beras kita habis, dan seharian kita makan bakwan karena yang ada adalah tepung terigu. Terus sambil kita makan berdua kamu bilang, "sayang, kalau tas jualanku laku besok kita makan pizza, ya! Dan saya tersenyum, kemudian diam- diam menangis terharu.

Iya, kamu yang bisa bikin saya senyum bukan hanya saat kita lapang tapi juga dikala sempit.

Kamu yang selalu disamping saya saat harus berpanas-panas di muwasholat. Kamu yang mengenggam tangan saya saat kita jalan berdua dibawah teriknya matahari sudan.

Kamu yang tidak malu menggandeng tas saya, dari yang masih model ransel anak sekolahan, sampe sekarang tas selempang warna pink. -_-

Kamu teman saya lomba lari di sahah khodro'. Kamu yang makan apa saja yang saya masak, dan bilang bahwa semuanya enak. Padahal aslinya ga tau.

Cuma kamu yang bisa jadi teman ngobrol terrr lama buat saya. Tempat saya curhat, ngomel, pote-pote, yang entah itu kamu benar-benar dengar atau tidak. :p

Cuma kamu teman berantem yang sangat saya cintai karena Allah. Kamu yang selalu bikin saya menangis dan tertawa. Marah kemudian bahagia. Kecewa lalu memaafkan.

Iya itu kamu, teman hidup saya 3 setengah tahun ini, dan untuk selamanya biidznillah.

Terima kasih untukmu yang selalu mencintai saya dan membuat sayapun selalu mencintaimu. Bagaimanapun keadaan kita.

Untukmu yang katanya sudah siaga 1, menanti yang kita rindu...

Semoga Allah senantiasa menjaga kita dan ridha atas setiap langkah kita.

Iya, cuma kamu dan akan selalu kamu. Biidznillah. Insya Allah.

Isyahmu.

Jumat, 05 Agustus 2016

Sebuah part kecil: "Drama ditinggal temus"


Harusnya sekarang ini saya memposting cerita umrah kemarin. Tapi entah kenapa saya kepikiran menulis yang lain. Labil memang. -_- Jadi beranda facebook saya itu lagi bermunculan berita mengenai temus (Tenaga Musiman Haji) tahun ini. banyak dari akun-akun PPI Timteng dan Afrika mengupload berita-berita terbaru seputar temus. Nah, jadilah saya flashback plus baper gegara teringat drama ditinggal temus tahun lalu. Padahal rasanya baru kemarin, ternyata sudah hampir setahun yang lalu.

Kenapa saya sebut “drama”? karena jujur, saya benar-benar seperti menjalani sebuah drama. Melodrama lebih tepatnya. Berat, amat berat. Meski begitu saya selalu meyakinkan diri, bahwa apa yang saya jalani saat itu pasti ada hikmahnya. Insya Allah! 

Selama 2 bulan saya terpaksa harus ditinggal suami di negeri orang. Jauh dari tanah air, di sebuah benua bernama afrika. Di negeri perjuangan bernama Sudan. Suami harus menjalankan amanah sebagai tenaga musiman haji, sekaligus menunaikan ibadah haji. Di satu sisi saya tentu sangat bersyukur. Bagi mahasiswa Sudan seperti kami, kesempatan itu tentu harus kami syukuri. Di sisi lain, ada yang harus dikobankan. Kondisi yang tidak memungkinkan bagi kami akhirnya membuat saya terpaksa harus tetap di Sudan.

2 bulan itu saya menghadapi banyak hal. Pengalaman dan pelajaran berharga, menangis, down, takut, dan merasa sendiri. Tanpa siapapun yang bisa saya andalkan kecuali Allah. Alhamdulillah di saat saya membutuhkan, Allah hadirkan orang-orang baik hati di sekitar saya. Jadi pada saat itu tidak ada yang bisa menemani saya di rumah, pun saya tidak berani untuk tinggal sendiri. Akhirnya selama 2 bulan saya menumpang dulu di salah satu rumah yang ditempati beberapa orang mahasiswi Indonesia-malaysia.

Alhamdulillah, mereka baik hati sekali mau mengizinkan saya tinggal disana. Kalau ingat kebaikan kakak Indonesia dan kakak malaysia, rasanya terharu sekali. Saya amat sangat bersyukur dan berterima kasih. Merekalah yang akhirnya membuat hari-hari saya tidak begitu kesepian. Pada saat itu saya memang belum mulai kuliah lagi. Saya lebih banyak dirumah.

Setiap 2-3 hari sekali, saya akan pulang ke rumah (rumah saya dan suami) untuk mencuci pakaian, membersihkan, dll. Rumah saya letaknya tidak jauh, jalan kaki sekitar 7 menit juga sudah sampai. Biasanya saya pulang ke rumah di pagi hari, dalam perjalanan saya kadang singgah di baqqolah membeli roti dan tho'miyah untuk sarapan. Setelah mencuci, beres-beres, nunggu pakaian kering, makan, tidur siang, (semuanya sendiri :p) sayapun balik lagi ke rumah kakak indo-malaysia. Saya selalu balik sebelum maghrib, sore hari setelah ashar. Awal-awal menjalani rutinitas tersebut saya kadang merasa sangat sepi… sendiri.

Setiap masuk ke rumah (rumah saya dan suami), saya baper lagi. :( salah satu yang kadang menambah ke-baperan adalah kalau lagi sendiri di rumah. Lihat baju-bajunya pak suami, sehari-hari tidak yang dimasakin, tidak ada yang bajunya menunggu disetrika, juga tidak ada yang sibuk minta dicucikan kalau pecinya ada noda sedikit. Tidak ada yang minta ditemani begadang belajar sampai tengah malam, tidak ada yang ditunggu ketukan pintunya yang lebih seperti gedoran -_- sambil bilang "assalamualaikum isyaah, ini kak rozi..." Setiap di rumah, saya coba saja untuk kuatkan hati. Alhamdulillah, seminggu-dua minggu berlalu, saya mulai terbiasa dengan rutinitas yang saya jalani.

Saya kadang masih menangis. Apalagi saat dihadapkan dengan berbagai masalah. Tanpa suami dan seorangpun keluarga di negeri orang, rasanya amatlah berat. Sejak awal saya datang ke Sudan, saya memang bersama suami. Sehingga saat harus sendiri jadinya lumayan shock. >_< Tapi dengan begitu saya semakin yakin, selama saya terus mendekatkan diri pada Allah, Allah yang akan jagain saya. Yakin, ada Allah yang melindungi saya.

Satu persatu masalah bermunculan. Mulai dari yang nampak maupun tidak (?) Suami dari jauh terus berjuang semampu yang dia bisa. Ummi dan aba juga tak henti mensupport dari berbagai sisi. 2 bulan itu saya belajar lebih mandiri, banyak bersyukur, bersabar, dan juga lebih berani. Contoh kecilnya: Suami saya itu orangnya sangat protektif, Alhamdulillah. Selama di Sudan jangankan naik muwasholat sendiri, naik reksya sendiri saja saya tidak boleh. Kemana-mana selalu bareng suami. Intinya saya itu anak rumah-kampus-rumah. Paling kalau jalan sendiri tidak jauh-jauh dari markaz dan jamiah. Soalnya rumah saya memang dekat jamiah banget. Sebab itu saat dia tidak ada, saya jadi harus belajar bagaimana tidak mengandalkan orang lain.

Akhirnya yang dulunya jalur muwasholat saja saya tidak tau jadi tau. Oh, kalau mau kesini naik bis yang ini. Bayarnya segini. Muwasholat kubri “kode tangannya”nya gimana, lain lagi kalau tujuan arobiy, sya’bi, dll. Lain pula dengan reksyah, kalau sudah tau harga aslinya tapi dinaikin sama ammu reksya, berarti kitanya yang mesti pintar-pintar menawar. Sebenarnya dari awal banget di Sudan juga sudah tau, tapi karena setiap jalan sama suami saya jarang memperhatikan, jadinya tidak terbiasa. Apalagi kalau soal jalan saya memang lamban. Jangankan di Sudan, di Makassar saja saya tidak hafal jalan. -_ - Oiya, untuk perkuliahan dan lika-liku ijroaat saya jadi lebih paham, yang mudah-mudah saja tapinya. :p Seperti periksa kesehatan, mengurus bithoqoh, bolak-balik jawazat jamiah, (kalau ke jawazat sya’bi sendiri mana berani -_-) Dsb. Biasanya kan ijroaat selalu sama suami.

Hal-hal kecil seperti itu jadi hikmah tersendiri buat saya. Nah, saat suami saya pulang malah dia-nya yang agak kaget. Mungkin dalam hati suami mikir, “istri gua 2 bulan ditinggal, kok berubah ya!?”:p Sebab sebelum dia temus, kalau kita jalan berdua biasanya saya mengikut saja. Sekarang kalau sudah tau mau kemana, saya thowwali naik bis tujuan. Dia lalu menyusul di belakang dengan muka bertanya-tanya. :p Misalnya juga kita lagi di jalan mau nyetop reksyah, sementara suami lagi nelpon, saya yang langsung menawar reksyah. hoho. Begitulah, lumayan menghibur.

Sungguh, 2 bulan tersebut menjadi cerita yang akan saya ingat untuk waktu yang lama. Kadang saat begitu banyak masalah, rindu, takut, dan sepi menumpuk dan sudah sangat menyesakkan, jadilah terbawa mimpi. Tidak jarang saat saya bangun ada air mata yang sudah mengering di pipi. Pernah juga kakak dari indo bilang ke saya, “aisyah, kamu tadi nangis pas tidur” ckck. Sepertinya saya ini memang kelebihan stock air mata. -_-

Lebaran Idul Adha telah tiba. Untuk pertama kalinya saya menjalani lebaran di negeri orang tanpa keluarga, tanpa suami. Alhamdulillah untuk setiap detiknya. Saya sungguh banyak belajar, bersyukur dan bersyukur. Akhirnya 2 bulan berlalu, dan pulanglah yang saya rindu dan tunggu-tunggu. 2 minggu sebelum suami pulang, saya juga sudah mulai kuliah. Kemudian berlalulah hari demi hari, semuanya kembali normal seperti biasa.

Masalah tentu tetap ada. Lika-liku tetap harus djalani. Naik turun jalan kehidupan itu sudah pasti. Namanya juga rumah tangga. Terlepas dari itu semua, saya dan suami belajar begitu banyak. 2 bulan perpisahan, saya di Sudan suami di Saudi. 2 bulan yang singkat tapi sangat bermakna, menjadi cerita dan satu part kecil yang akan kami kenang dalam rumah tangga kami. Suatu hari mungkin saya akan berkisah kepada anak-anak saya, “Dulu ummi pernah loh tinggal di Sudan bareng abi. Hidup susah senang sama-sama. Pernah juga ummi 2 bulan di Sudan ditinggal abi haji, dan semua itu dapat terlalui dengan izin Allah. Kemudian keinginan dan tekad yang kuat, juga keberanian.”

Cerita kenangan ini akhirnya menjadi pengingat sekaligus penyemangat bagi saya. Hari ini dan mungkin di hari-hari yang akan datang. Mungkin juga cerita ini hanya cerita sederhana, part kecil namun ternyata penting. Sebab sekecil, sesingkat, dan sesederhana apapun suatu perjalanan dalam rumah tangga, bukankah ia tetap bagian dari seluruh perjalanan? Semoga Allah senantiasa membimbing kami dalam setiap perjalanan ini…  


Makassar, Jum’at 5 Agustus 2016.


Aisyah Ikhwan Muhammad.





Senin, 01 Agustus 2016

Akhirnyaaa...



Akhirnyaaa, buka blog lagi. Setelah postingan terakhir di bulan april, saya belum lagi menulis cerita kenangan apapun. Padahal di kepala ini sudah banyak sekali yang ingin saya tuliskan. Tentang kepulangan ke indonesia. Umrah 3 hari part 2, kebersamaaan dengan keluarga, kemudian tanpa terasa sudah 6 bulan di negeri tercinta. Juga tentang LDR part 4 dan bumbu-bumbunya, nangisnya, ketawanya.  Juga tentang rindu, rindu, dan rindu. Hingga akhirnya Allah izinkan untuk melepas kerinduan itu lewat pertemuan dengan abi-nya yang ditunggu dan amat dirindu. 

6 bulan ini banyak sekali yang terlalui. Diantara semua itu, kehadiran dia yang dinanti dan dirindu menjadi kebahagiaan yang teramat kami syukuri. Alhamdulillahilladzy bini’matihi tatimmush sholihaat J

Bisa dibilang sejak berangkat kesudan 2013 lalu, kepulangan kali ini adalah yang teeeer-lama. Dan belum tahu balik sudan-nya kapan. Hahah. :p  ‘alaa kulli haal, postingan kali ini saya sebenarnya mau menulis cerita kenangan. Tujuannya seperti yang selalu saya tulis dalam setiap postingan, “untuk dikenang” suatu hari nanti.

Jadi ceritanya, semenjak drama “ditinggal temus” berakhir, saya dan suami sama sekali tidak ada niatan untuk pulang. Dikarenakan suami yang lagi sibuk dengan s2-nya, sayapun lagi kuliah dan akan imtihan di bulan januari. Ditambah pula dengan kondisi kami yang belum memungkinkan. Hingga akhirnya karena beberapa alasan tertentu, kami harus pulang. (harus banget? :p) Kemudian segeralah suami mengurus segala sesuatunya, seperti khuruj audah, dsb. Sementara saya si istri sholehah (aamiin :D) sibuk dengan persiapan imtihan.

Karena pulangnya naik saudia, otomatis kami transit Jeddah. Alhamdulillah-nya bisa sekalian umrah, kita tinggal mengurus visa transit 3 hari. Jadinya selama 3 hari kami bisa keluar Jeddah. Suami memilih ke madinah terlebih dahulu, baru kemudian berangkat ke-mekkah agar pulangnya lebih dekat ke Jeddah.

Setelah fix akan pulang dan imtihan selesai, mulailah saya sibuk (baca:pusing) dengan episode mengepak buku-buku suami yang dengan hebohnya mau dia bawa pulang semuaaaaa. Katanya biar nanti kalau sudah selesai di sudan, tidak kewalahan. Bayangkan saja, buku-buku dari jaman dia tahun satu, masih kurus :p, jauh sebelum nikah, sampai 5 tahun di sudan harus saya sortir semuaaaa. Butuh 2 hari buat selesai. Itupun disela-sela kesibukan pak suami yang sibuknya Maasya Allah! -_- total bagasi kami bikin deg-degan, takut over bagasi. Isinya 80 persen buku semuaaaa, baju-baju dikorbankan, lebih banyak yang ditinggal. Tak apalah. Demi pak suami, ibu istri rela. 

Tanggal 3 Februari, kami akhirnya berangkat menuju Jeddah. Saat check in, saya harap-harap cemas, berdoa semoga barang kami tidak over bagasi. Alhamdulillah semua koper beserta kardus berisi buku lolos. Setelahnya barulah saya bisa tenang.  Meski begitu saya dan suami harus kuat-kuat mengangkat ransel dan koper kecil untuk dibawa ke cabin, sebab isinya benar-benar kami maksimalkan semuat-muatnya. Hahaah. Kemudian berangkatlah kami ke Jeddah…


Bersambung di postingan Umrah 3 hari part 2…



Sabtu, 23 April 2016

Surat Cinta di awal tahun ke-4


Untuk Abi to be (Insyaa Allah). My Husband. My best friend and partner. My teman berantem. The Love of my life; Muhammad Fakhrurrazi Anshar, Roziku, Cintaku.

Sayang, kita sama-sama tahu bahwa 3 tahun ini bukanlah tahun-tahun yang mudah. Tapi kita tetap bersama. Sebab kita pun sama-sama tahu bahwa 3 tahun ini adalah tahun-tahun paling berharga sepanjang hidup kita. Bukan begitu, sayang?

Sayang, mungkin bagi orang banyak, kita bukanlah dua orang paling ideal untuk dipasangkan, tetapi kita adalah dua orang yang Allah persatukan. Kita sudah tertakdirkan. Dan takdir kebersamaan kita bagiku adalah sebuah kesyukuran yang begitu besar.

Kau membawaku melewati berbagai hari dengan beragam rasa. Roller coaster kehidupan rumah tangga.

3 tahun ini…

Kau melindungi, aku merasa aman.
Kau bertanggung jawab, aku pun merasa nyaman.
Kau menyakiti, aku menangis.
Kau ukir senyum di hatiku, aku bahagia
Aku mencintai, kau lebih mencintai.
Aku marah, kau mengerti.
Aku kecewa, kau berubah.
Aku salah, kau ajari aku.
Kau  salah, kita belajar bersama.
Aku jatuh, kau ada.
Kau jatuh, aku ada.

3 tahun ini kita sama-sama belajar, bahwa bersama selalu lebih baik. Meski terkadang berpisah tak bisa kita hindari. Terima kasih untuk 3 tahun ini. Terima kasih untuk setiap rasa yang membuatku belajar untuk lebih baik dari setiap peristiwa dan masalah.

Aku selalu ingat hari-hari kita di negeri yang jauh.
Di rumah kita, yang hanya ada kita.

Ada saat kita kehabisan bahan makanan untuk dimasak. Aku khawatir dan mulai berpikir, namun ternyata kau pulang membawa harapan lagi. Kemudian kita melanjutkan kehidupan di hari esok.
Terima kasih telah membawaku terbang jauh dari negeriku. Kemudian kita belajar susah senang bersama. Kita bertengkar, dan berbaikan. Kita menyakiti, kemudian memaafkan. Kita bersama, terpaksa berpisah, kemudian bersama lagi. Semua atas izin Allah.

Terima kasih selalu menjadi lelaki yang menginginkan kebahagiaanku. Terima kasih selalu menjadi suami yang tak pernah bosan untuk belajar. Dan terima kasih karena telah mengajakku belajar bersamamu.

Kadang kau berdiri di depanku memimpin dengan tanggung jawab.
Sering kali kau di sampingku, mengenggam erat tanganku. Itu caramu menyampaikan cinta.
Tak jarang kau berdiri di belakangku, melindungi dan memberi rasa aman.

Maafkan aku, jikalau aku belum menjadi yang terbaik di matamu. Maafkan aku yang seringkali lalai dalam menjalankan tanggung jawabku sebagai seorang istri. Maafkan aku yang mudah menangis. Maafkan aku yang suka pote-pote. Maafkan aku yang selalu bawel mengingatkanmu berbagai hal. Maafkan aku. Maafkan aku.

Aku tahu. Aku sadar. Aku adalah wanita dengan sejuta kekurangan disana-sini. Tapi aku pun hanya ingin kau tahu, bahwa aku terus belajar.  Bahwa aku menempatkanmu di posisi terdalam di hatiku. Bahwa karena Allah, aku mencintaimu dengan segenap jiwaku.

3 tahun yang lalu, di usia 16 tahunku. Kau datang mengulurkan tanganmu, mengajakku kedalam bahteramu. Dan kini, lebih dari 3 tahun kita telah bersama. Sedikit banyak pahit manis kehidupan telah kita cecap berdua. Bersama dan berpisah. Meninggalkan dan ditinggalkan.

Terima Kasih untuk 3 tahun ini ya, sayang..
Aku terus berdoa, semoga Allah mempersatukan kita, sampai akhir waktu. Bersama hingga ke syurga. Seperti janji kita. Sekarang kau pergi lagi, melanjutkan perjuangan di negeri yang jauh. Meninggalkanku dan dia. Doa dan harapan tak henti kita panjatkan. Untuk kesehatan dan keselamatannya.

Semoga Allah Ridhai perjalanan kita, dan semoga kita berdua semakin belajar dari hari ke hari. Mempersiapkan diri untuk menjadi ummi dan abi. Lebih bertanggung jawab atas peran kita masing-masing. Lebih saling memperhatikan. Dan juga Lebih saling mencinta. Semangat berjuang.

Lagi-lagi, terima kasih untuk 3 tahun ini.

Dari Ummi to be (Insyaa Allah), your the one and only wife. Calon Ibunya anak-anakmu. (yang suka pote2 demi kebaikanmu) yang baper kemana-mana, yang cengeng, yang menunggumu kembali pulang, dan yang selalu merindumu; Aisyah Muhammad Ikhwan, Isyahmu, Cintamu.

“Untuk hadiah terindah di 3 tahun kita… Alhamdulillahilladziy bini’matihi tatimush sholihat…”


Makassar, 23 April 2016

Aisyah Ikhwan Muhammad.











Kamis, 21 Januari 2016

Cerita Imtihan (Part 2)


“Allahu Akbar..Allahu Akbar..” sayup-sayup suara adzan mulai terdengar, pertanda telah masuk waktu sholat ‘ashr. Sesekali kulirik jam di tangan sambil tetap berkonsentrasi dengan lembar soal dan lembar jawaban. Suasana ruang ujian begitu hening, pengawas di depan terlihat fokus mengawasi setiap peserta ujian.

Kembali kuperiksa jawaban yang mulai kutuliskan sejak sejam lebih yang lalu, setelah yakin dengan jawaban yang kutulis, sayapun segera membereskan alat tulis, melipat kertas soal dan memasukkannya kedalam saku, kemudian menutup lembar jawaban, beranjak dari kursi dan memberikan lembar jawaban kepada pengawas. Sambil menggandeng ransel di pundak, saya berjalan keluar kelas.

Lega. Iya, legaaaaa sekali. Rasanya, baru kemarin saya mulai berkutat dengan muzakkiroh, kitab, talkhis dan sejenisnya, dan Alhamdulillah akhirnya hari yang saya nantipun tiba ; hari terakhir Imtihan. Serasa ingin teriak “Libur telah tiba, hatiku gembira!” hoho. :D Saya suka sekali dengan perasaan sejenis ini, perasaan “plong” saat berhasil melalui satu hal dengan izin Allah.

Imtihan kali ini punya ceritanya sendiri. Tentu saja berbeda dengan imtihan yang saya jalani semasa di Ma’had lughoh dulu. Bukan hanya pelajarannya yang memang otomatis bertambah rumit tapi juga cerita di baliknya.

Kira-kira pertengahan bulan desember kemarin saya bahkan masih belum pasti akan ikut ujian atau tidak. Sempat suami mengutarakan pendapatnya, kalau sebenarnya tidak mengapa saya tidak ikut ujian, sebab kemungkinan besar saya juga akan tetap keluar dari Diplom ‘Uluum Syar’iyyah untuk kemudian mendaftar Kuliah S1 (lagi). Saya juga sempat mengamini pendapat suami, “iya juga yah, daripada menguras waktu dan tenaga untuk ujian tapi pada akhirnya akan keluar juga” pikir saya saat itu. Tapi setelah berkonsultasi dengan Aba, ternyata aba justru tidak setuju dan berharap saya tetap ikut ujian dengan berbagai pertimbangan.

Setelah berdiskusi dengan suami, meditasi (?), plin-plan, sebentar iya sebentar tidak, saya dan suami pun akhirnya memutuskan kalau saya akan tetap ikut ujian, kepulangan ke Indonesiapun diundur menjadi 2 minggu setelah saya selesai ujian. Sebenarnya saya jenis orang yang sangat tidak suka mengerjakan sesuatu dengan setengah-setengah. Kadang saya bahkan lebih memilih mundur dengan pecundangnya saat saya tau saya tidak bisa maksimal dalam suatu pekerjaan. Sebab itulah saya mikir nya lama pake banget. Meski begitu saya juga tetap suka dengan tantangan.

3 minggu sebelum ujian saya akhirnya mulai mempersiapkan diri untuk imtihan, waktu yang ternyata masih kurang, ditambah dengan banyaknya muhadhoroh yang tidak saya ikuti. Yah, lagi-lagi disebabkan qobul yang terlambat. ‘Alaa kulli hal saya pun mulai berkonsentrasi dan memaksimalkan diri, meski perasaan “terdampar” itu tetap sesekali mengusik. Saya memang satu-satunya orang indonesia di kelas yang  hampir seluruhnya didominasi oleh orang Sudan. Adapun dari negara lain mungkin hanya ada 3 orang. Bahkan, saat ini mungkin saya satu-satunya mahasiswa indonesia yang kuliah di diplom washit jamiah ifriqiyah. Ckck. Padahal kalau melihat di Kulliyah lain, orang Sudan kalah banyak dengan mahasiswa-mahasiswi asing dari berbagai negara. Ternyata oh ternyata, di Jamiah ini orang sudan kebanyakan kuliah di Diplom. Setidaknya dari yang saya lihat seperti itu.

Kemudian dimulailah hari-hari persiapan hingga hari-hari imtihan. Seperti yang pernah saya tuliskan di Cerita Imtihan (Part 1), saya tipe orang yang kalau lagi ujian seakan berpindah ke dunia lain, plus saat belajar itu berisiknya minta ampun, walhasil suasana rumah 2 minggu terakhir ini dihiasi dengan suara berisik saya saat belajar. “saya itu kayak bercemin isyaah!” komentar kak rozi disela-sela keberisikan saya. Wajar saja dia merasa bercermin, sebab cara belajar saya dan dia memang sebelas-dua belas, tidak jauh beda. Meski menurutnya saya ini lebih ekstrem beberapa tingkat.

4 hari terakhir hingga tadi malam, saya memang terpaksa harus begadang dan bahkan tidak tidur sampai subuh. Sebab 3 maddah terakhir yang juga berat-berat akan saya ujiankan berturut-turut selama 3 hari tanpa jeda, berdempetan bagaikan perangko. Mungkin itulah yang membuat kak rozi berpikir saya ini tipe ekstremis dalam hal belajar. -_-

Selama masa imtihan beberapa kali komentar bernada ngambek dilontarkan suami saya, “kapokka’ isyah, kapok kurasa kalau kita ujian” dengan sangat saya sadari, dia terlihat berusaha membuyarkan konsentrasi saya dengan berbagai macam hal, seperti mempengaruhi, menghasut kalau saya itu harusnya santai saja, tidak perlu serius-serius amat, dan lain sebagainya. Beruntung saya tidak terpengaruh. Haha. :p  Setelah gagal menghasut dia biasanya hanya bilang, “sepertinya mudzakkirah lebih pentingmi dari suami di’..hmm..” Meski begitu, dia tetap saja banyak membantu saya saat ada pelajaran yang tidak saya pahami. Padahal dia juga tengah sibuk dengan proposal thesis, Ijroaat untuk tajdid Iqomah, khuruj audah, dan visa umroh. Alhamdulillah 

Setelah Imtihan berakhir, saya kembali menyadari bahwa pilihan saya untuk tetap ikut ujian adalah tepat. Saya sangat bersyukur. Kalaupun saya akan keluar dari diplom, toh bukankah ilmu yang sudah saya pelajari tidak akan sia-sia? Apalagi jika saya amalkan dan sampaikan ke orang lain. Bahkan di beberapa maddah yang saya pelajari di diplom, juga di pelajari teman-teman di dirosat. Untuk maddah yang sama, bahan pembelajarannya pun sama. Sebab itulah saya berpikir, takdir saya terdampar di diplom ini insya Allah tidak akan sia-sia. Kalau tahun ini saya diterima kuliah di Bachelor (aamiin), maka apa yang sudah saya pelajari di diplom ini tentu akan sangat bermanfaat. Kalaupun tidak diterima dan ada jalan lain yang Allah takdirkan untuk saya, maka tetap saja, ilmunya jika diamalkan dan didakwahkan tidak akan sia-sia. Semua pasti ada hikmahnya.

Finally, saya akhirnya harus mulai mempersiapkan berbagai macam hal untuk kepulangan ke indonesia 2 minggu lagi. Rasanya sudah kangeeeeen sekali. Dengan indo, dengan makassar, keluarga, dan tentu saja makanan khas makassar. Selama ujian salah satu yang menjadi penyemangat saya adalah dengan membayangkan songkolo bagadang, mie titi, pallumara, coto makassar, sop saudara, pallubasa, es pisang ijo, es kelapa muda, ahh... tidak ada habisnya. Makassar memang ngangenin parah.

Beberapa hari kedepan saya mungkin akan disibukkan dengan packing dan beres-beres rumah. Sebab selama saya pulang nanti, rumah yang saya tempati untuk sementara akan ditempati oleh beberapa orang syabab untuk mengisi kekosongan rumah. Maklum, cari rumah untuk disewakan di Sudan itu susah bingits, so kalau sudah dapat rumah yang sreg di hati dengan harga terjangkau harus dijaga baik-baik.

Baru saja suami saya kembali berkomentar, “Isyah, sadar tidak sudah 2 minggu  saya diduakan dengan mudzakkiroh, masa habis imtihan saya diduakan lagi dengan laptop?” hahaha.

Okelah. Sepertinya saya harus mengakhiri celotehan saya kali ini. Seperti biasa, saya menuliskan ini semua memang untuk saya kenang suatu hari nanti. Karena saya memang senang mengenang banyak hal, atau dengan kata lain “sulit move on” sukanya mengubek-ngubek kenangan. Seringakali saat lagi down,  membaca cerita-cerita yang saya tulis bisa menjadi penyemangat, membuat saya ketawa-ketiwi sendiri dan kembali ceria. Hehe.

Sipp lah. Sampai jumpa di cerita imtihan selanjutnya. Sehabis ini mungkin saya akan “sedikit” puas-puasin diri buat tidur. Mengingat lingkaran hitam di bawah mata saya sudah mencapai level akut, sedikit lagi saya bertampang psycho. Nauudzubillah -_- Okeeee sudahmi! Bye!

Khartoum, 21 Januari 2016.

#H-13 pulang ke indo Insyaa Allah.

Aisyah Ikhwan Muhammad.



Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers