Rabu, 01 April 2020

#SelfQuarantine Journal (Chapt 3)


Rabu, 1 April 2020
Day-sekian (lewat 14 hari) #dirumahaja

Di hari kesekian self qurantine ini, saya tepar juga. Sudah dua hari lemas akibat maag yang kambuh. Niatnya mau puasa, pas bangun sahur, sudah bikin lauk, eh buka rice cooker ternyata nasi habis. Qaddarallah. 🤦‍♀️ Ckck, Aisyah pelupa. Semalam dengan santainya tidak mengecek nasi. Tidak juga makan sejak siang kemarin.  Akhirnya tetap coba puasa dengan sahur seadanya, dan bertahan hanya sampai dzhur. Habis itu maag kambuhlah. Sepaket dengan migrain, mual, dan sejenisnya.

2 hari ini selama sakit, saya juga banyak merenung. Sebagai pengikut fanatik kaum rebahan, renungan itu tentu saya lakukan sambil rebahan. 😌 Mengingat tentang waktu yang berlalu, rencana esok hari, dan tentu saja kondisi sekarang ini.

Mengenai kondisi saat ini, jujur saja kalau ditanya takut atau tidak, saya akan jawab, yes, i'm scare. Terutama soal anak sih. Entahlah, apapun menyangkut Babang, saya masih harus banyak belajar. Terutama tentang Tawakkal dan berserah. Tanpa sadar, saya masih sering terluput dan mengandalkan asbab. Padahal kembali lagi, setiap sebab-sebab itu kan ujungnya hanya akan menjadi sebab saja. Tidak lebih. Lalu semuanya akan kembali pada takdir Allah. Alhamdulillah, kesadaran seperti ini yang menolong saya untuk mengurangi rasa takut.

Melihat kondisi dan kebijakan pemimpin yang bikin doa harus makin kencang, membuat saya kadang gemes tak tertahankan. Tapiii, terinsipirasi dari salah satu postingan Ibu Coach Ochy, "memutuskan untuk nggak akan julid no matter what" karenanya, sebisa mungkin saya menahan jari-jari ini untuk tidak menjabarkan sebab kegemesan itu. 😂

Memang saat ini tidak berguna juga segala nyinyiran. Yang dibutuhkan sekarang, kalau kata seorang Pemimpin Daerah adalah, "lakukan apa yang kita bisa. Ini bukan hanya tentang pemerintah. Ini tentang kita semua." Dari hal-hal terkecil yang memang kita mampu. Seperti ikut berkontribusi menggalang dana, berikan bantuan kepada mereka yang terdampak, edukasi pada orang di sekeliling kita. Sebarkan informasi yang terpercaya. Tidak menjadikan mereka yang positif covid-19, pdp, maupun odp bak teroris, hingga melanggar batas-batas privasi mereka. Dan tentu amat berterima kasih kepada mereka yang dengan berani, mengumukan apabila dirinya positif demi kebaikan orang-orang di sekitarnya. Salut. 🙏

Kembali pada hal terkecil, bahkan harusnya itu bisa kita mulai dari diri sendiri. Seperti jaga jarak aman, perhatikan kebersihan, dan pastinya lagi-lagi, di rumah saja bagi yang punya pilihan untuk itu. Toh, pada akhirnya setiap kita masing-masing akan mempertanggung jawabkan amanah yang kita emban. Para pemegang kebijakan akan bertanggung jawab, cepat atau lambat, di dunia maupun akhirat. Kita pun seperti itu, baik sebagai masyarakat, maupun sebagai bagian daripada keluarga kita masing-masing. Setiap kita sudah memiliki porsinya. Tinggal amanah atau tidaknya. Semoga. 🤲🏻

Beberapa waktu lalu saya melihat video singkat, seorang tenaga medis mengatakan kurang lebih seperti ini, "banyak yang bilang kalau para tenaga medis itu adalah frontliner. Namun sejatinya, masyarakat (baca: kitalah) yang mestinya berada di garis terdepan. Usaha kita dalam mencegah penularan yang harusnya menjadi utama. Dan merekalah para tenaga medis yang berjuang di garis pertahanan terakhir, menjaga kita semua. Dan harapan kita, tentu agar tidak perlu ada yang harus sampai pada garis terakhir."

Seketika pikiran saya terbuka, benar saja. Bukankah kita ingin sehat? Tujuan utama kita adalah, biidznillah berusaha untuk menghentikan penyebaran virus ini. Maka harusnya bentuk kontribusi kita adalah berupaya sebisa mungkin agar diri kita tak perlu sampai pada garis pertahanan terakhir, yakni wal iyyadzu billah, berada dalam penanganan medis.

Kita ingin situasi kembali normal. Kita ingin kembali baik-baik saja. Maka tentu keinginan itu harus seiring dengan doa dan berserah kepada Rabb kita. Mengikut dengannya usaha yang jelas dan nyata. Lagi-lagi, dari hal paling sederhana yang bisa kita lakukan. Mulai dari diri sendiri. Setidaknya dengan mulai menjaga diri dan keluarga, kita tidak perlu merepotkan mereka yang berjuang di luar rumah untuk banyak orang.

Dengannya, untuk para tenaga medis, yang habis kata jika harus menyampaikan ucapan terima kasih. Sesungguhnya doa adalah yang tak kami luputkan untuk kalian. Allah jaga dan lindungi selalu. Aamin.

Terima kasih pula, teruntuk mereka para relawan yang memilih turun tangan langsung, memberikan kontribusi nyata. Mantap jiwa, Maasyallah. ✊🏻

Kepada para Asatidz, para Ulama dan Da'i yang tak berhenti memberikan pencerahan kepada Ummat. Melalui nasihat dan faidah. Himbauan juga arahan, yang setiap kali dapat mengingatkan kita kembali, untuk tak luput dari mengingat Allah. Kesyukuran terbesar atas kehadiran para Ulama dan da'i di tengah Ummat dalam kondisi yang demikian ini.

Saya pun berterima kasih,

kepada para penulis, yang terus memberikan suntikan sehat untuk jiwa melalui tulisan-tulisan yang menyebarkan aura positif di dunia persosmedan. Membuat saya bernapas lega setiap kali selesai membaca, hingga mendapati baterai semangat yang kembali terisi.

Lalu kepada para emak-emak yang tetap setia memposting foto dan resep masakan. Zuzur, ini membuat hari-hariku lebih berwarna dan bersemangat selama masa karantina. Saat buka IG, lihat yang enak-enak, bikin mood jadi bagus, itu pahala juga kan ya, buat yang posting? 😍

Kepada para pemilik bisnis online yang tetap memposting produknya, memberikan solusi bagi mereka yang membutuhkan dan tak lagi harus keluar rumah membeli. Ada-ada saja yang menyediakan barang untuk dibeli saat kita butuh. Termasuk penjual ikan sayur buah yang bisa delivery dan COD. Alhamdulillah. Terima kasih, para pebisnis amanah. Semoga Allah berkahi.

Oiya, buat yang bikin game screenshoot (sapi, ayam, plus sapi dan ayam) yang bergerak-gerak. *buat yang ngerti aja. Makasih, loh. Saya terhibur dengan hal kecil ini. Atau jangan-jangan ini karena saya sudah terlalu gabut. 😑

Baiklah, daripada list ucapan terima kasih ini semakin panjang yang otomatis semakin aneh, mari kita akhiri catatan hari ini.

Selamat tidur dan mimpi indah, please tidak usah mimpi corona. Jangan lupa baca doa dan surah Al mulk, gaes. Bhay. 😊


Aisyah Ikhwan Muhammad

















Minggu, 29 Maret 2020

#SelfQuarantine Journal Chapt 2




Jumat, 27 Maret 2020

Day-12



Hari ini, setiap kali kita berbicara tentang rencana hari esok, tanpa sadar kita semakin dalam menyertakan makna sebuah harapan.

Semisal obrolan singkat yang selalu diawali, "Insyallah, kalau semua keadaan membaik..."

Maka selepas ini, saat kondisi sudah normal. Saat kita bisa kembali keluar rumah dengan rasa nyaman dan aman. Jangan lupakan segala hikmah, yang telah kita kumpulkan satu demi satu. Pada setiap hari demi hari yang kita lalui dengan penuh harap dan doa.

Selepas ini, jangan tinggalkan harapan, yang telah kita bangun terus menerus, pada setiap usaha dan rencana yang kita citakan.

Selepas ini, jangan abaikan janji yang telah kita tekadkan, untuk tak luput dari sabar dan syukur. Untuk terus menularkan kepedulian dan empati.

Selepas ini, jangan lepaskan hangatnya kebersamaan di rumah-rumah kita, saat kita saling menggenggam begitu erat, menularkan semangat dan ketenangan di hati orang-orang yang kita cintai.

Selepas semua ini, saat semua keadaan membaik, tetaplah setia pada kesyukuran, atas senyum dan sehatnya anak-anak kita.

Atas kebahagiaan tak terkira, saat kita dapat kembali bersujud, berjamaah di rumah Allah.

Untuk hari esok yang lebih baik, 
tetaplah nyalakan cahaya harapan itu.



Aisyah Ikhwan Muhammad.
Selasa, 24 Maret 2020

#SelfQuarantine Journal (Chapt 1)






Selasa, 24 Maret 2020
Day- 9 #Dirumahaja #selflockdown 


Rasanya sudah lama sekali, sejak saya memiliki niat untuk kembali mengunjungi blogku yang renta ini. Bisa dilihat dari last post yang ternyata sudah 2 tahun yang lalu. Wah, betapa saya merindukan masa-masa nge-blog. Saat saya tahu bahwa yang membaca postinganku mungkin hitungan jari, namun tetap saja saya bahagia dan menikmati saat-saat itu. Berkelana dengan tulisan dan memori perjalanan. Menuangkan apa saja yang ingin kuceritakan. Menyimpan banyak hal yang hari ini menjadi kenangan.  


Kondisi saat ini tiba-tiba memunculkan tekadku untuk kembali berkelana di blog. Kupikir ini akan ampuh sebagai healing dan menormalkan pikiran. Berhari-hari dalam perasaan was-was, membuat saya lumayan sulit berpikir jernih. Setiap hari yang saya lihat dan baca, adalah informasi yang rasanya membuat jantung berdetak lebih kencang. “Apakah korban meninggal bertambah?” “Apakah pasien positif bertambah?” 


Berdasarkan himbauan pemerintah, hari ini tepat 9 hari masa karantina mandiri. Dunia sedang tidak baik-baik saja. Negeriku sedang berperang. Sebuah makhluk ciptaan Allah berupa Virus yang oleh manusia diberi nama Covid-19, menjadi momok menakutkan bagi banyak orang di seluruh dunia. Virus yang beberapa bulan lalu pertama kali muncul di kota Wuhan, China, kini telah tiba di negeri sendiri. Di Makassar, berdasarkan update Dinas Kesehatan Sul-Sel 2 hari yang lalu, terhitung 2 orang positif covid-19, 1 orang meninggal. Berikut 95 ODP dan 28 PDP. Masa Tanggap Darurat Covid-19 di Indonesia telah diperpanjang hingga 29 Mei 2020.


Sekolah dan perkantoran diliburkan. Segala kegiatan yang melibatkan banyak orang ditunda. Social distancing adalah keharusan. Kita tidak lagi bersalaman, cipika-cipiki, apalagi saling berpelukan dengan orang lain. Semua orang diminta untuk tetap di rumah. Melakukan karantina mandiri demi memutus rantai penyebaran virus. Banyak Masjid ditutup sementara. Adzan tetap berkumandang di 5 waktu Sholat, yang berbeda adalah tambahan lafadz, “Shollu fi buyutikum.” Sholatlah kalian di rumah-rumah kalian. 


Sedih, takut, khawatir. Campur aduk perasaan selama berhari-hari. Saya sendiri tergolong manusia rumahan. Saya baru akan keluar gua alias rumah saat akan travelling ataupun sekadar mengikut suami.  2 tahun terakhir saya memang menjalani kuliah jarak jauh, karena itu saya terbiasa menghabiskan waktu di rumah saja. Namun ternyata, kebiasaan itu tidak sepenuhnya membantu. Situasi kali ini sangat berbeda. Ditambah suami yang sejak seminggu lalu dirawat di rumah sakit. Semua itu semakin menambah kecemasan.


Sholat, doa, dan Al Qur’an. Kita tahu, tidak ada lagi yang paling ampuh memberi ketenangan hati selain dari mengingat Allah. Maka dari itu, Doa wajib semakin dikuatkan, segala ikhtiar dimaksimalkan, dan memang tawakkal-lah yang harus menjadi pilihan.


Sejujurnya saya bahkan tidak tahu tulisan ini akan mengarah kemana. :D Tapi, sebaiknya saya berpindah pembahasan. Berhubung baru saja saya putuskan, untuk sementara ini mencukupkan diri dari segala macam informasi dan update berkaitan covid-19. Terlalu berlebihan menerima informasi juga tidak baik sepertinya.


“23.03.13 – 23.03.14. Kemarin, setahun yang lalu.” Begitulah yang tertera dalam postingan kenangan 6 tahun yang lalu di akun Facebook saya hari ini. Seperti yang juga saya tuliskan di post FB barusan, membuka status lawas di fb itu bagai membuka catatan lama. Sebagai warga IG yang kata suami telah khianat pada fb, kadang jadi suka geli sendiri bacanya. Haha :D Tapi hari ini, berkat postingan itu saya malah diingatkan. 7 Tahun sudah berlalu rupanya. Sejak kali pertama saya melangkahkan kaki di sebuah labirin kehidupan bernama pernikahan. Memasuki tahun ke-8, ada banyak hal yang telah berubah. Baik dalam rumah tangga maupun diriku sendiri. Meski begitu, tak sedikit pula yang tidak berubah. Tetap seperti itu sejak pertama kali.


Belakangan terakhir, saya malah sering merasa sudah tua. *nyadarjuga. Merasa begitu banyak melewatkan kesempatan untuk berilmu, beramal, dan berbuat baik. Sebaliknya saya semakin bertanya-tanya, sebanyak apa waktu yang kuhabiskan untuk berleha-leha? Sejak kapan saya menjadi makhluk mager level akut? *sejak lama. -_-


7 tahun yang lalu, saya punya banyak sekali cita-cita. Di tahun ini, saya mengubah beberapa hal. Cita-cita itu bukannya berkurang, namun lebih terseleksi dengan jelas. Apa saja goal hidup yang menjadi prioritas. Ketimbang memasang terlalu banyak target dan tujuan, hari ini saya memilih target prioritas, lalu fokus pada proses dan langkah-langkah yang sedang dan ingin kujalani. Satu demi satu.


Saya pernah pada tahap merasa tertinggal jauh. Saya pikir sudah terlambat untuk mengejar sekian capaian dalam hidup. “Terima sajalah. Mungkin memang hanya sampai di sini.” Tapi itu dulu, ketika fokusku dalam mencapai suatu hal selalu kubandingkan dengan orang lain. Saya jarang sekali berpikir untuk menghargai diri. Saat apa yang sedang saya upayakan menemui kegagalan, saya banyak sekali menyalahkan diri sendiri. Tanpa sadar, kesyukuran yang harusnya saya miliki juga semakin tergerus.


Lalu proses belajar dan terus belajar membuat saya banyak merenungi diri. Selama prosesnya, saya berupaya me-reset pola pikir. Belajar bagaimana mengontrolnya dengan lebih baik. Hasilnya, saya jadi lebih banyak menerima. Memaafkan segala ketidaksempurnaan. Mempelajari titik-titik kekurangan, untuk kemudian diperbaiki pelan-pelan. Mensyukuri segala nikmat dan karunia yang telah Allah berikan. Percayalah, semua itu sangat melegakan.


Ajaibnya, setelah saya lebih banyak menghadirkan penerimaan dalam diri, ekspektasi yang saya miliki perlahan ikut menyesuaikan. Cita-cita dan tujuan yang tadinya saya pikir terlambat itu,  justru lebih jelas terlihat. Proses penyortiran mulai saya lakukan, baik dalam urusan keluarga, pendidikan, dakwah, maupun pengembangan diri. Satu persatu dari setiap lini, saya menentukan skala prioritas. Memberi target yang sesuai, mengetahui posisi saya saat ini, dan jarak di antara keduanya. Untuk kemudian merencanakan langkah dan proses yang akan dijalani berdasarkan kemampuan dan kesiapan diri. Konsekuensinya, saya harus bertanggung jawab.


Tidak mudah. Tapi saat semua lebih jelas, bukankah kaki ini akan lebih terbantu dalam melangkah? Ibarat perbandingan antara orang yang berjalan dalam kegelapan bermodalkan lilin kecil dengan bermodalkan lampu terang yang cukup. Tentu saja manusia butuh untuk melangkah tanpa harus selalu meraba-raba.

Anw, keinginan untuk terus belajar itu penting sekali, ya. Dengannya kita tidak merasa cukup dan berpuas diri dengan ilmu juga pengalaman yang dimiliki. Tidak angkuh dengan segala pencapaian. Tidak ingin berhenti dari beramal shalih, berkarya dan berusaha untuk bermanfaat. Kita pun akan lebih mengenali kapasitas diri dan berupaya meningkatkannya. 

Terus belajar juga membuat kita semakin menghargai orang lain. Tidak bermudah-mudah dalam menilai buruk seseorang. Pada akhirnya kita pun semakin meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk diri kita tentu saja. Semua kita memilik potensi kebaikan dan keburukan. Maka tugas kita sebagai hamba adalah berfokus pada upaya mengembangkan potensi kebaikan itu. Tidak menyerah untuk menjadi baik. Jika satu dua langkah kita terseok bahkan tersandung, kita tidak serta merta dengan mudahnya menilai payah perjalanan kita. Dibanding terus menyalahkan diri tanpa aksi perubahan, bukankah meminta ampun kepada Allah akan lebih baik? Mempelajari penyebab kita tersandung, untuk kemudian melakukan tindakan preventif pada langkah selanjutnya.

Hey, Anak baik itu bukannya dia yang tak pernah salah dan gagal. Anak baik adalah dia yang paling cepat menyadari kesalahannya, memperbaiki, dan tidak berhenti untuk menjadi baik. 


Finally, tibalah di akhir catatan hari ini, yang tema dan alurnya campur aduk seperti perasaanku. *ampumma. Semoga Berkah Allah menaungi kita semua, baik yang stay di rumah maupun mereka yang masih harus ke luar rumah. Bagi kita yang masih bisa memilih dan mengusahakan maksimal, yuk #dirumahaja Teriring doa tiada henti, Semoga Allah karuniakan kita kesehatan dan penjagaan sebaik-baik penjagaan. Dan saudara-saudara kita yang tengah berjuang, baik sebagai pasien maupun tim medis yang berada di garda terdepan, Allah berikan kekuatan fisik dan hati. Biidznillah, bersama kita saling memberi support dan doa.

Selamat beribadah dan beraktifitas. Rajin cuci tangan, istirahat yang cukup dan konsumsi makanan bergizi, ya. Minum vitamin juga. Kalaupun harus keluar rumah, jangan lupa baca doa, pakai masker, dan jaga jarak dengan orang lain.  Sebelum itu semua, yakinlah, Dzikrullah adalah yang tidak ada tandingannya. *ntms 

Oke, saya mau lanjut dulu ngelapin keyboard ini pakai tissue basah antiseptik. -_- Wassalam.  



Aisyah Ikhwan Muhammad









Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers