Jumat, 23 Oktober 2015

Cinta, Rindu, dan Keberanian (H-11)



46 Hari telah berlalu, dan saya masih disini dengan rindu yang beserakan disetiap bagian hatiku. 11 hari lagi dan penantian ini akan terbayarkan dengan izin Allah. tidak terlewat satu haripun kecuali saya kembali menghitung hari. Nyaris lebay memang. :P

Selama satu bulan setengah ini, ada begitu banyak moment yang jika bukan karena Allah maka sudah pasti saya tidak mampu melewatinya. Di hari dia pergi, di hari dia meninggalkan saya di negeri Sudan ini, saya ikut mengantarkannya ke bandara melepasnya untuk berjuang mengemban amanah sebagai temus haji juga melaksanakan ibadah haji. Suatu kesyukuran yang teramat sangat bagi saya dan baginya. Di sisi lain, ada perasaan sedih tak terbendung saat melihat sosoknya menghilang di balik pintu keberangkatan. Untuk pertama kalinya saya harus di Sudan tanpa suami. Kemudian dimulailah hari-hari penuh air mata, jatuh bangun, dan pikiran yang dipenuhi oleh sosok yang teramat kucintai karena Allah.

10 hari pertama dia pergi, saya masih di rumah bersama kakak icha dan kedua anaknya, my jaza dan my tibi ^^ meski berat, namun Alhamdulillah saya masih bisa membaik dari hari ke hari. Disaat saya mulai bisa menata hati,  kakak icha pun harus kembali ke indonesia, hari itu adalah kesedihan terdalam saya setelah hari kepergian kak rozi. Setahun kehadirannya di Sudan membuat kehidupanku di Sudan begitu berwarna.Sosok kakak yang begitu kucintai dan kubanggakan juga ikut meninggalkanku di negeri perjuangan ini. Setelah setahun perjalanan, jatuh bangun, semangat, air mata, dan berbagai moment kami lalui bersama. 

Mungkin setahun terlihat singkat. Tapi saya teramat tahu betapa dia berjuang melalui semua dengan senyum cerahnya. Saya tahu bagaimana semangatnya dalam menuntut ilmu, betapa excitednya dia menuntut ilmu di Ma’had Lughoh. Sayapun tahu, bahwa semangat menuntut ilmu yang sejak kecil dimilikinya akan terus menetap di hatinya biidznillah.

Di bandara saya seakan tidak ingin melepas pelukannya, saya hanya bisa membisikkan, “kakak icha, takut...” dia membisikkan kata-kata semangat yang membuat saya semakin berat melepasnya, sosoknya pun menghilang di balik pintu keberangkatan. Kakak icha, abang jaza dan adek tibiy pergi, hari-hari yang lebih beratpun kembali di mulai.

Hari itu saya benar-benar merasa sendiri. Sepulang dari bandara, saya kembali ke rumah. Seorang diri membuka pintu rumah dan... hening. Sepi. Saya belum menangis, semuanya masih tertahan. Saat ingin mengunci pintu, qaddarallah kunci pintu rusak, silindernya  perlu diganti. Saya kemudian mulai melepas satu persatu mornya, sambil memutar obeng, pikiran saya mengambang, sendiri, sepi, dan sedang memperbaiki pintu -_- Sebentar lagi maghrib dan saya harus menyelesaikannya secepat mungkin.

Tapi mungkin karena hati saya sudah terlalu sesak, saya berhenti dengan kegiatan memperbaiki pintu, dan hanya bisa terduduk bersandar di balik pintu, dan dimulailah drama bergenre melow, saya menangis sesegukan, sebentar-sebentar terdiam berusaha menahan kesedihan, lalu menangis lagi. Butuh waktu setengah jam untuk saya menata hati, paling tidak saya harus memperbaiki  kunci pintu agar aman. Kembali dengan kegiatan memperbaiki kunci yang juga sambil menitikkan air mata. Saat saya mengingat moment itu saya jadi berpikir betapa menyedihkannya pintu yang rusak, saya sampai harus menangis sambil memperbaikinya :p  yap, butuh setidaknya 3 paragraf untuk menuliskan kisah kunci pintu rusak ini. -_____-

Pintu selesai beberapa saat sebelum maghrib. Saya masih di rumah dengan perencanaan yang sudah ada sebelumnya. Namun ternyata Allah punya rencana lain untuk saya hari itu. Beberapa saat setelah pintu selesai saya perbaiki, langit berubah merah, angin berhembus kencang, ghubar datang menyapa. Sebelum ghubar, listrik terlebih dahulu padam. Dalam kondisi yang masih sedih saya mulai ketakutan. Sendiri di rumah, mati lampu, dan ghubar di malam hari. Saat itu takut mendominasi. Saya mulai mengabari beberapa orang. skenario yang telah Allah takdirkan buat saya terus berjalan hingga akhirnya suami dan aba saya sama-sama menginstruksikan untuk segera ke rumah salah seorang akhwat di daerah arkaweet yang kebetulan tak begitu jauh dari rumah saya di daerah markaz islami.

Sesampainya disana, saya mulai lebih tenang dan merasa aman. Hari-hari kembali berlalu. Berbagai moment masih terus datang silih berganti, masih terus melibatkan air mata, tak jarang pula di warnai dengan senyum semangat dan optimisme. Seperti saat saya harus melalui lebaran pertama kalinya tanpa suami dan keluarga di negeri orang, Allah justru menghadirkan saudari-saudari fillah di sekitar saya, bersama mereka semua saya menjalani lebaran idul adha tanpa kesedihan. Sebaliknya saya tersenyum penuh semangat berharap hari esok lebih baik, meski rindu itu tetap saja membumbung tinggi sekali. :p

Hari-hari berikutnya saya harus menata hati yang jatuh bangun menanti kabar mengenai qobul bersama 55 orang calon mahasiswa-mahasiswi baru lainnya. Hingga kabar baik datang dengan keluarnya qobul 56 orang tersebut termasuk saya, namun ternyata Allah menakdirkan jalan lain untuk saya tempuh. Saat itu saya, suami, dan kedua orangtua masih belum menyerah. Kami mengusahakan yang terbaik, beberapa hari pulang balik idaroh qobul, meminta bantuan kesana kemari hingga akhirnya keputusan tetap tidak berubah. Saat itu saya pasrah dan meyakinkan diri, bahwa inilah yang terbaik buat saya. InsyaAllah tahun depan masih ada kesempatan. Aamiin. Saya harus menjalani apa yang Allah takdirkan buat saya saat ini dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur. Dengan perasaan lega tanpa beban saya akhirnya mengikuti muayanah, melalui proses ijroaat, dsb hingga bisa memulai kuliah.

Dengan sangat terasa, waktu terus berlalu atas izin Allah, tiada hari kecuali bertambah cinta dan rinduku padanya karenaNya. Satu hal yang saya sadari selama perpisahan ini, bahwa ujian mampu mendekatkan kita padaNya. Mampun menambah rasa syukur dan sabar di dalam hati. Membuat saya lebih berani, mandiri, dan tidak bergantung kepada siapapun kecuali kepada Allah.

Perpisahan ini membuat hatiku begitu dekat dengan hatinya. Membuat saya begitu bersyukur memiliki suami dan kedua orangtua yang tak pernah henti mendukung dan mengusahakan yang terbaik untuk saya, membuat saya bertekad untuk bisa menjadi istri yang lebih baik lagi, taat dan berakhlaqul karimah, anak yang lebih berbakti dan membahagiakan ummi dan aba.

Hingga akhirnya perpisahan inipun membuat saya menyadari, betapa saya mencintai dia dengan berbagai kelebihan dan kekurangan kami berdua. Semoga Allah senantiasa meneguhkan diriku dan dirinya, dalam perjalanan penuh onak duri ini, perjuangan dalam meraih keridhaanNya, dan dalam mengejar cita dan impian pernikahan kami, bersama hingga ke SyurgaNya.  Aamiin yaa Mujiibas-saailin.

Khartoum, 23 oktober 2015.

Aisyah ikhwan Muhammad.


Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers