Rabu, 28 Juni 2017

Tidak Harus Jago yang Penting Bisa.


Dulu waktu saya kecil Ummi pernah bilang, "jadi perempuan itu memang tidak harus jago masak layaknya chef, tapi paling tidak harus bisa masak."

Dulu, sewaktu hari pernikahan saya, saya sempat curhat ke Ummi sebelum akad, "Ummi, gimana nanti yaa, saya kan nda tau masak." Lalu Ummi jawab kurang lebih seperti ini, "Aisyah, santai saja. Masak itu kebutuhan. Nanti juga bisa kalau belajar."

Dulu, (oke ini paragraf terakhir dengan awalan kata dulu. Kesannya gue manusia dulu banget. 😑) saya itu orangnya tidak terlalu hobby masak. Tentu kecuali kalau saya lagi kepepet, Ummi tidak di rumah, dan lagi lapar. Paling bikin nasi goreng, mie instan, makaroni, telur, dan semacamnya. Tapiii, saya itu suka sekali mengamati Ummi masak. Karena Ummi bilang, kalau belum mau coba masak, lihat-lihat saja dulu. Kupas bawang saja dulu, belajar potong-potong, itu juga bagian dari masak. Semacam itu.

Nah, ternyata yang Ummi bilang itu memang benar saya rasakan sekarang. Masak itu kebutuhan. Mau makan, ya masak. Apalagi di rantau begini. Lalu saya juga jadi mengerti bahwa masak itu pasti bisa kalau mau belajar. Memang benar. Saya ingat sekali awal saya dan suami tinggal di Sudan 2013 lalu. Waktu itu kami belum membeli kompor, syukurnya ada rice cooker yang bisa digunakan multifungsi. Nah, saya pun dapat ide masak pake rice cooker ini hasil lihat dari Ummi sewaktu umrah dulu. Menu pertama di luar menu-menu biasa semacam nasgor, dll yang saya buat waktu itu adalah kentang goreng balado. Sesederhana namanya, hanya digoreng dan ditumis dengan bumbu yang dihaluskan. Saya juga ingat waktu itu menggoreng kentangnya di rice cooker. 😂 Lalu beberapa tahun berlalu, dan menu yang rasanya biasa sekali itu selalu saja direquest suami. Kok bisa? Mungkin nihh yaa ... mungkiiin, karena dibuatnya pake hati. Haha.

Jujur saja, saya bahkan belajar teknik memotong ayam dan membersihkan ikan dari youtube. 😑 Ya, sampai segitunya. Tapi saya suka. Saya menikmati. Meski sekarang ini tetap saja skill memasak masih biasa saja bahkan kurang mungkin. Tapi paling tidak apa yang saya masak bisa dimakan. Dan kebiasan saya mengamati Ummi masak sewaktu kecil itu, ternyata sangat berguna sedari awal saya punya niatan rajin masak. Haha. Jadi bagi yang cuek dengan dapur seperti saya dulu, tetap rajin-rajinlah mengamati orang memasak. Suatu hari nanti berguna juga.

Yang paling kerasa itu kalau lagi momen lebaran di rantau seperti ini. Alhamdulillah 'alaa kulli haal. Yang biasanya makan masakan Ummi, sekarang makan masakan sendiri. Dulu opornya Ummi, sekarang opor sendiri. Dulu galorica Ummi sekarang rendang sendiri. Di indo buras ketupat, di sini lontong rice cooker. 😂

Lalu saya mengingat-ingat, kenapa saya dan kakak-adik saya begitu jatuh cinta dengan masakan Ummi? kenapa kami selalu rindu? kenapa rasa masakan Ummi itu tidak ada duanya bagi kami? Maasya Allah.

Teryata memang benar kata Aba, bahwa masakan Ummi itu dengan cinta, anak-anak. Iya, betul sekali, Ba. Masakan Ibu untuk anak-anaknya itu berbeda. Seberapapun nikmat dan mewahnya masakan restaurant karya para chef ternama, dengan skill dan pengetahuan mereka soal masak - memasak, bagi seorang anak yang tumbuh dengan masakan Ibunya, tetap ia akan selalu rindu. Entah bagi orang lain masakan itu biasa-biasa saja. Tetap bagi anaknya luar biasa.

Karena pemahaman itu, saya yang tadinya sebelum nikah cuek dengan dapur, cuek dengan kompor dan segala macam tentang masak, akhirnya mau belajar masak. Dan surprisenya, saya enjoy. 😁

Beberapa hari yang lalu saat saya sedang sibuk di dapur, suami saya komentar,  "Isyah, nanti kalau kita sudah punya rezeki lebih, kita pekerjakan pegawai yah, biar kamu tidak perlu lagi capek kerjain pekerjaan rumah tangga, tidak perlu lagi capek masak..."

Lalu saya jawablah, "boleh bangeet, tapi pegawainya kerja yang lain saja selain masak. Bantu masak okelah. Tapi yang masak biar saya saja."

"Loh, kenapa? Nanti saya juga perkerjakan chef ternama, sayang...tenang saja!" Iye, suami saya memang suka over kalau bermimpi.😑

Haha, bukan begitu...

Jadi... saya itu punya satu cita-cita sederhana. Saya ingin menjadi yang memasak makanan keluarga kita. Kakak, kutanya yah, Kakak selalu rindu tidak dengan masakan mama? Pasti iya kan.

Nah saya apalagi, masakan Ummi itu selalu bikin kangeeen. Makanya saya pun ingin anak-anak kita nanti seperti itu. Kadang kita anak-anak selalu punya masakan-masakan tertentu yang jadi favorit kita. Kadang pula dalam sebuah keluarga, mereka selalu punya masakan khas favorit semua orang dalam keluarga tersebut yang selalu dirindukan.

Itu dia. Saya berharap suatu hari nanti, saat anak-anak kita tumbuh dewasa, kemana pun ia pergi, ia selalu punya salah satu hal sederhana dari sekian banyak hal, yang membuatnya rindu dan selalu ingin pulang pada kita. Salah satunya itu adalah masakan ibunya.

Kita bisa memulainya dari sekarang. Dari keluarga kecil ini. Jangan lihat hari ini, orangtua kita juga dulu memulainya dari hal kecil, bukan? Jadi mulai sekarang, jangan bosan-bosan jadi kelinci percobaanku yaa... anda harus siap memakan apapun yang kumasak, entah itu enak ataupun tidak. Hoho. 😁😎

Khartoum, Subuh hari lebaran ke-4

Aisyah Ikhwan Muhammad, ketika merindu masakan Ummi. 😄

Kamis, 15 Juni 2017

Sendiri?


Dulu, saya adalah orang yang amat tidak senang dengan keramaian. Lebih tepatnya, saya menyukai sendiri. Saya akan menghindar dari pusat keramaian, dan lebih memilih mengurung diri di kamar. Menyibukkan diri dengan berbagai macam hal. Saat itu saya pikir bersama keluarga dekat saja sudah cukup.

Lalu perjalanan membawa saya pada suatu episode yang akhirnya membuat saya sedikit... ya, sedikit mengubah persepsi saya akan 'sendiri'.

Hari itu, di suatu rumah di negeri orang, jauh dari sanak keluarga, untuk pertama kalinya saya menangis sendirian. Benar-benar sendiri, dan sedang memperbaiki gagang pintu yang rusak. 😑 Hari itu masih amat jelas di dalam benak saya. Menjelang maghrib, saat ghubar (badai pasir) dan padamnya lampu datang bersamaan, saya menangis sambil terus memutar obeng hingga terpasang dengan baik. Lalu saat pintu tersebut akhirnya bisa menutup, saya lalu melanjutkan adegan drama dengan menangis sesegukan terduduk sendiri. Hari itu, untuk pertama kalinya pula saya membenci sendiri.

Setelahnya saya sedikit berubah. Saya tidak lagi terlalu membenci keramaian. Meski kadangkala saya tetap saja masih bersembunyi ke dalam "gua" saat terdesak. Tetapi pada akhirnya saya pasti akan memilih untuk kembali keluar.

Sendiri tidak selalu menyenangkan rupanya. Ya, Allah memang menciptakan kita berpasang-pasangan. Kita pun hidup berjamaah bukan tanpa tujuan. Lalu saya akhirnya paham. Bahwa mungkin memang ada saatnya kita butuh sendiri, tapi ada saatnya pula kita butuh berada di tengah-tengah orang banyak.

Kadang saya bertanya, kenapa pula saya sangat suka sendiri? Apakah karena diri yang terlampau introvert? ataukah keramaian terlalu bising? atau mungkinkah karena saya hanya ingin menghindar dari pertanyaan dan pandangan yang melelahkan dari orang-orang? Entahlah.

Apapun itu, kita semua tahu, bahwa sejatinya setiap kita, tidak pernah benar-benar sendiri.

قال الله تعالى: ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛﺎﻥ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺭﻗﻴﺒاً

“Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu sekalian” (QS an-Nisaa’:1)

Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers