Senin, 29 Juni 2015

Mengapa Sudan?


Sebagai salah seorang perantau di sebuah negara di benua afrika ini, saya kerap kali di lontarkan berbagai macam pertanyaan yang klise menurut saya. “Apa yang membuat saya betah di Sudan? kenapa memilih sudan? bukankah di Sudan beasiswanya kecil?  bukannya disana panas banget yah? apa disana aman? kerusuhan kah?” dan masih banyak lagi pertanyaan yang kadangkala jika sudah malas saya jawab, hanya akan saya tanggapi dengan senyuman penuh arti. :p

Jangankan teman-teman, petugas kepo bandara soekarno hatta saja beberapa kali menanyakan pertanyaan yang sama dengan raut wajah heran, “mau ke sudan, mba? ngapain disana? bukannya lagi perang yah?” Sambil memindahkan koper saya hanya menanggapinya dengan santai, “Iya, mau kuliah, ga ada perang kok, pak, saya kuliahnya di Khartoum, Insyaa Allah aman.” “oh gitu, oke hati-hati ya, mba.” ucap si petugas bandara menanggapi.

Sebenarnya sejak awal saya juga tidak pernah terpikirkan untuk memilih bumi Sudan sebagai tempat saya menimba ilmu, takdir Allah lah yang membawa saya ke sini, setelah sebelumnya saya ditakdirkan pula untuk menikah dengan seorang pria yang kebetulan kuliah di Sudan. Hoho. Jadi  mau tidak mau saya harus ikut suami ke Sudan. Nah dari sinilah niat itu tertanam, bahwa saya ke Sudan adalah untuk mendampingi suami dan menuntut ilmu.

Semenjak hidup di Sudan ada banyak hal yang dipertontokan dengan nyata kepada saya, bahwa inilah kehidupan. Sungguh saya belajar banyak hal disini. Menjelang 2 tahun di Sudan, pelajaran dan makna-makna hidup yang saya dapatkan luar biasa banyaknya. Alhamdulillah.

Seingat saya, kami tiba di Sudan menjelang subuh hari sehingga panasnya belum terlalu terasa, nah saat siangnya saya diajak keluar oleh suami untuk membeli beberapa kebutuhan, di situlah saya merasakan tamparan-tamparan angin hot yang luar biasa, tapi Alhamdulillah pada saat itu saya tidak berkomentar banyak, mengapa? karena sebelumnya suami sudah mengingatkan, “ini belum panas yah, masih ada yang lebih panas.” -_- 


Adapun para mahasiswa di Sudan sudah lebih memahami dan bisa berkompromi dengan perubahan cuaca ekstrem yang terjadi di sudan. Sebenarnya mereka bukannya sangat tahan panas dan tidak merasakan beratnya cuaca ekstrem, namun seiring berjalannya waktu, mereka sudah sudah lebih tahu bagaimana beradaptasi dan berinteraksi di tengah cuaca yang panas membara, Mereka tetap bisa tersenyum bersama meski di hempas angin yang sungguh hot. “Bagai di elus-elus besi panas, yah.” canda suami saya di suatu waktu. “Sudan ngga panas kok, cuman hangaaat” celetuk teman suami di lain waktu. Mereka yang telah menjalani suka duka kehidupan sudan sudah lebih terbiasa. Panas membara hampir di sepanjang tahun bukan lagi suatu hal yang aneh, mereka bahkan lebih sering memilih menjadikan panas sebagai bahan gurauan dan ajang untuk memperbanyak rasa syukur ketimbang mengeluh pada keadaan. MaasyaAllah..:)


Lalu bagaimana kehidupan di sudan? iya seringkali kami memang kesulitan dan kesusahan. Tapi susah tidak harus selalu payah, bukan? sulit juga bukan berarti tidak bisa meraup Ilmu yang bermanafaat sebanyak-banyaknya, serta pengalaman hidup dan pelajaran-pelajaran berharga yang tidak kalah pentingnya. Kesulitan tidak serta merta bisa menghalangi kebahagiaan. Memang sedikit sulit mendeskripsikan bagaimana kehidupan di Sudan dengan kata-kata, mungkin memang hanya merekalah para perantau negeri 2 nil ini yang bisa memahaminya dengan baik. Jadi jika ingin tahu, ayo ke Sudan. hoho.

Sebenarnya penggambaran selama ini bahwa afrika terkhusunya Sudan itu menyeramkan tidaklah sepenuhnya benar. Serius loh, ada banyak keindahan di Negeri 2 Nil ini, (di sebut negeri 2 nil disebabkan Sudan adalah negeri tempat bertemunya 2 anak sungai Nil yaitu nil putih dan nil biru). lalu dimana letak keindahan Sudan? ya, kita memang harus mencarinya dengan seksama. Sebab keindahnnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tidak pula selalu bisa digambarkan secara fisik, tapi ia tumbuh perlahan di hati. J

Lalu apa yang paling membuat saya betah di sudan? Saya pikir itu karena ilmu. Semenjak saya kuliah di Ma’had lughoh, saya bertemu dengan berbagai macam orang dari berbagai negara, dengan bahasa yang beragam  namun dipersatukan dengan bahasa arab. Bertemu dengan ustadzaat yang luar biasa menurut saya, di Sudanlah saya memulai kembali menuntut ilmu di bangku kelas :p saya belajar bahasa arab dan ilmu-ilmu syar'i, dan juga yang tidak kalah penting, saya belajar bagaimana bergaul dengan orang-orang dari berbagai negara. Sedikit banyak saya mulai mengenali karakter-karakter mereka yang sangat beragam, menjadi akrab, teman, bahkan sahabat yang sangat dekat di hati.

Setelah sedikit-sedikit sudah lebih paham bahasa arab, suami mulai mengajak saya mengikuti kajian atau talaqqi di Sudan. Alhamdulillah bertumpah ruah rasa syukur bisa menimba ilmu langsung dari para Ulama' di Sudan ini, duduk di majelis mereka, meski belum paham sepenuhnya, tapi setidaknya dengan banyak mendengarkan, insyaAllah akan lebih terbiasa.

Jadi kala di tanya apa yang membuat saya betah di sudan? Maka dia adalah ilmu. Rasanya kesulitan yang saya hadapi di sudan ini sangat tidak pantas untuk dibandingkan dengan ilmu yang saya dapatkan. Begitu pula ketika saya bertanya kepada suami, apa yang membuat dia betah 5 tahun di Sudan, jawaban yang sama akan dia ucapkan, ilmulah yang membuat dia betah, dan tentunya selain ilmu, kebersamaan kami berdua pula yang membuat kami betah. ya iyalah masa LDR terus.

Selain itu kebersaman dengan para mahasiswa Indonesia yang ada di sudan juga menambah kehangatan dan kesyukuran, juga para ummahat (ibu-ibu) di Sudan, sebagian dari mereka ada yang sudah lama menetap, mereka membangun keluarga, melahirkan dan membesarkan putra-putri mereka disini sambil terus menuntut ilmu. Mereka tampak kuat dan sabar menjalani tahun demi tahun perjalanan di tanah rantau, sebagian dari mereka ada yang bahkan tidak pernah pulang ke tanah air selama bertahun-tahun. Maasya Allah. Mereka pula yang selalu memotivasi saya untuk semangat menuntut ilmu di Sudan, meski sebagian dari mereka sudah banyak yang kembali ke tanah air disebabkan studi yang telah selesai.

Setiap kali kesulitan melanda, suami selalu meyakinkan saya, dan dengannya saya meyakinkan diri sendiri bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hambaNya, bahwa yang kita butuhkan adalah usaha dan doa terus menerus, kemudian tawakkal, menyerahkan semuanya kepada Allah. disaat ujian datang silih berganti kembali saya mengingatkan diri sendiri akan niat awal kedatangan, bahwa saya datang untuk mendampingi suami dan menuntu ilmu, dengannya semangat akan kembali tumbuh. Saya juga banyak belajar dari suami yang sudah lama di negeri ini, ia tipe orang yang sangat optimis (kadang malah kelewat optimis :p), selalu ia nasihatkan kepada saya agar tidak khawatir makan apa esok hari, bagaimana membayar sewa rumah, bagaimana ini dan bagaimana itu, namun sebaliknya, sekali lagi terus saja berdoa, berusaha, dan bertawakkal, dan yakinilah bahwa pertolongan Allah itu dekat.

Saya jadi teringat saat suami saya banyak menceritakan jatuh bangun kehidupan bujangnya selama di Sudan, demi memenuhi kebutuhannya dan tidak membebani orangtua di tanah air, dia mencoba bekerja sampingan sambil kuliah, semua demi terus bertahan hidup dan menuntut ilmu di negeri Sudan. Bukan hanya suami saya, bekerja ataupun berbisinis adalah suatu hal yang lumrah bagi para mahasiswa-mahasiwi di Sudan. Kadang ada yang menjual makanan,  pernak-pernik, barang elektronik, ataupun mengajar privat, itu semua demi memenuhi kebutuhan mereka tanpa harus terus bergantung pada orangtua di Indonesia apalagi bagi yang memang tidak mendapat kiriman dari orangtua maupun donatur. Beasiswa di Sudan hanya cukup untuk membayar biaya kuliah, asrama dan makan, selebihnya ditanggung sendiri, tidak ada mukafa'ah, karena itulah bekerja sampingan kadang menjadi pilihan selama ia tidak melenakan dari menuntut ilmu tentunya.

Dan lagi-lagi inilah secuil mengenai Sudan, meski dengan berbagai kekurangannya, dengan ke”hangat”annya, kesulitan hidup, mahalnya harga kebutuhan, sulitnya mencari rumah dengan biaya sewa yang sesuai, beasiswa  minus mukafa'ah yang sebagian besar hanya diperuntukkan bagi mahasiwa S1, belum lagi pengiriman uang yang sulit (tidak bisa melalui ATM), ditambah pengurusan administrasi yang seringkali bikin mumet dan kadang "sedikit" memancing emosi... ya begitulah, Insyaa Allah segala halangan rintangan (membentang tak jadi masalah dan tak jadi... *abaikan*) tidak akan menyurutkan langkah para perjuang di Sudan, biidznillahi ta'ala. :) dan jujur saja, dengan berbagai ke”gado2annya” negeri Sudan ini, saya sejak awal sudah merasa, bahwa suatu saat jika saya harus meninggalkan Sudan, maka saya akan benar-benar  kangen sekangen-kangennya dengan berbagai macam keunikan dan nano-nanonya tinggal di negeri ini. Semoga semua penempaan di negeri ini semakin  menguatkan bukannya melemahkan, dan semoga pula pengalaman hidup di tanah rantau ini menjadi bekal yang berati buat kita di masa yang akan datang. Aamiin. 

Lalu apa indahnya Sudan? kan sudah saya tulis di atas tadi :p indahnya sudan itu tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. tapi ia dirasakan disini, di dalam hati, broo. :)

pemandangan sungai nil putih sewaktu rihlah ke jabal aulia. :) 

Khartoum, baru di posting 29 Juni 2015 (setelah ditulis beberapa bulan yang lalu dan nangkring di laptop sekian lama) :p


Aisyah Ikhwan Muhammad.




Tentang Ramadhan



Tentang Ramadhan...

Ramadhan adalah bulan suci penuh berkah yang selalu menyimpan sejuta kenangan tak terlupakan bagi siapapun dan dimanapun. Berjuta rasanya setiap kali mengenang episode-episode ramadhan yang telah saya lalui sepanjang  18 tahun hidup ini. Dari kecil hingga tumbuh besar, memory tentang ramadhan adalah yang paling selalu melekat kuat dalam hati dan pikiran.

Seperti hari ini, ketika saya lagi-lagi menyadari bahwa sebentar lagi ramadhan akan tiba, spontan muncul begitu banyak rasa yang bercampur aduk mengenang setiap ramadhan yang telah terlaui. Untuk setiap detiknya saya cuman bisa bilang, rindu rindu rindu!

17 kali ramadhan, dan tahun ini adalah ramadhan ke-18. Ada yang berbeda, jika sebelumnya setiap kali ramadhan saya berada di Indonesia, kali ini saya di negeri ini, di negeri Sudan, tahu Sudan kan, bro? Ituloh negara yang sangat kece badai nan terkenal se-seantaro dunia. :P  

Meski belum tahu akan seperti apa rasanya menjalani ramadhan di Sudan, saya tetap optimis dan sangat menanti ramadhan kali ini. Kata suami saya, bulan ramadhan di sudan cuaca akan terasa sangat amat HOT. Wew -_- ini aja masih 2 bulan sebelum ramadhan, suhu sudah sering mencapai 45 derajat celcius, Tapi insyaAllah bisaa! Buktinya teman-teman di sini yang sudah berkali-kali menjalani ramadhan di Sudan masih sehat wal ‘aafiyah. Heheh.

Beberapa hari ini saya mulai mempersiapkan kondisi fisik (?) saya sebelum memasuki ramadhan, biidznillah. Ya berhubung saya penderita magh kronis. Suami juga sudah mulai agak sangar mengontrol masalah makan, terlebih soal makan pedas dan tidak makan sama sekali seharian. Hoho. Jadi ingat pas kemarin cokko2 (ngumpet) makan mie kuah extra pedas yang akhirnya ketahuan -_-

Yang juga banyak terkenang dari setiap bulan ramadhan yang telah saya lalui adalah soal penyakit maghku tercinta ini. Sedari kecil, setiap bulan ramadhan ummi pasti mengontrol dengan ketat apa  yang saya makan saat sahur dan buka puasa. Setiap sahur saya wajib makan nasi, lauk, pisang ambon, kurma, minum madu obat, dan air putih yang banyak. Begitupun saat berbuka. Disaat kakak saya dengan ganasnya langsung menyantap es buah, ummi selalu mengawasi, saya harus mulai dari air putih, atau minuman hangat, kemudian kurma, dan barulah boleh makan dan minum yang lain. Sebab jika tidak begitu, maka jadilah saya setiap hari terkapar, muntah, lemas, bisa jadi dehidrasi, dan puncaknya adalah tiduran di rumah sakit, again. Nah  otomatis kalau sudah begitu tidak akan sanggup puasa dong. Makanya dari kecil sampe sudah menikah bahkan, setiap kali sahur dan buka, ummi masih tidak pernah bosan mengingatkan, “aisyah sudah makan pisang? Kurma juga jangan lupa!” “aisyah, jangan langsung minum air dingin. Ingat2 penyakitmu nak” (tuh kan, jadi rindu ummi L

Diantara sekian banyak moment ramadhan, tahun kemarin adalah yang sangat berarti buat saya. Setelah berbagai macam nano-nano hidup, ada keluarga tempat meleburkan segala rasa, dan selalu menjadi tempat bagi kita untuk kembali pulang. Ramadhan tahun kemarin saya harus pulang ke indonesia, sementara suami punya jadwal ujian yang otomatis membuat dia tetap di sudan. yup LDR-an lagi. :(

Alhamdulillah tahun kemarin Allah berikan kesempatan untuk menjalani ramadhan bersama keluarga tercinta, bersama ummi aba, kakak achi, kakak bibi, adek unyu-unyuku si reyhanG, umarku tersayang , juga bersama ponakan2, sepupu2, mama ani tercinta, tante2 yang berisik tapi ngangenin.

Yang sangat special dari ramadhan tahun kemarin adalah kebersamaan yang sangat berkualitas rasanya. Ummi aba yang biasanya sangat sibuk menjadi sangat sering di rumah, terutama ummi yang hampir full time di rumah. Selama sebulan penuh ummi terus memasak berbagai macam makanan yang..yang...sungguh tidak sanggup lagi sayaa katakan, yang..enaknyaaaa tak terbahasakan T_T ummi dan aba hampir full sebulan selalu buka puasa dan sahur di rumah bersama. Di tambah pula 10 hari terkahir, kakak icha ikut menginap dirumah bersama para krucil2nya, yakni abang jaza, adek tibiy dan kakak syifa. Sementara suaminya dan kakak ubaid i’tikaaf. Waduh, bertambah ramelah rumah. Berisik, gaduh, semi kacau tapi ngangenin parah. Suasana heboh seperti itulah yang selalu saya rindukan. Maklum rumah saya di Sudan hanya diisi oleh 2 manusia yang agak labil. Kadangkala kami dengan sengaja membuat kegaduhan agar rumah terkesan rame. -_-

Ramadhan tahun kemarin juga sangat terasa special dengan sholat tarawih berjamaah di masjid yang selalu hits di Makassar setiap bulan ramadhan. Dengan pak imam yang tentu juga hits (bukan hits obat nyamuk nah. Hits terkenal maksudnya) sepulang sholat tarawih bolehlah singgah cari makan. Sampai di rumah masih juga heboh bin berisik. Masih beraktifitas layaknya siang hari padahal jarum jam sudah berganti hari. Kadang hanya tidur beberapa jam dan bangun kembali. Saya, ummi, dan si reyhang, akan bergiliran setiap hari untuk menyiapkan makanan sesuai jadwal untuk sahur sekeluarga. Setelah sahur biasanya aba akan melanjutkan dengan memberikan nasihat subuh yang selalu menyejukkan, kadangkala diselingi dengan “nak, ambilkan dulu obatnya aba” (tuhkan jadi rindu abaa.. T_T)

Ramadhan tahun kemarin juga lebih berati dengan kehadiran partner murojaah yang masya Allah sangat memotivasi. Meski murojaahnya kakak icha sambil di recokin krucil 2, nyetor  hafalan tetap saja lancar maasyaAllah. Beda sekali dengan saya yang saat menghafal maupun murojaah seakan berpindah ke dunia lain. Butuh fokus dan konsen yang amat sangat, apalagi saat puasa, sampe terkadang pake penutup mata dan telinga segala -_- yaa begitulah sekilas kenangan-kenangan ramadhan di tahun kemarin.

Dengan berbagi momen yang telah saya lalui, saya sangat sadar, bahwa saya wajib sewajib-wajibnya untuk senantiasa bersyukur sebanyak-banyaknya kepada Allah atas apa yang telah saya lalui. Ada begitu banyak orang di luar sana yang jangankan menjalani hari-hari di bulan ramadhan bersama keluarga, untuk sekedar sahur dan berbuka pun mereka harus berjuang begitu keras. Teringat mereka para perjuang fii sabilillah di medan jihad, di Suriah, di Palestina, di Yaman, dan di berbagai belahan dunia lainnya. :’(

Ramadhan tidak lama lagi, semoga kita semua dapat melalui ramadhan dengan keikhlasan dan hati penuh suka cita, semoga kita semua telah siap menyambut tamu agung yang yang sangat dirindukan,  yang akan datang dan pergi begitu cepat, meski kita tidak tahu bahwa akankah Allah mengizinkan kita untuk melewati ramadhan kali ini, meski kita tidak tahu akan seperti apakah ramadhan kita kali ini.

Semoga Ramadhan kita tahun ini menjadi ramadhan yang indah nan berberkah, melengkapi setiap episode Ramadhan yang telah kita lalui, menjadi kenangan dan pembelajaran berarti yang terus melekat kuat di dalam hati dan pikiran, di sepanjang hidup kita. Aamiin. 

Khartoum, 30 April 2015

Aisyah Ikhwan Muhammad



Awal musim panas SUDAN 2015 dan drama pindah rumah :p



Musim dingin sudah berlalu dan benaran sudah lewaaat. Sampai-sampai saya seakan lupa bagaimana rasanya musim dingin kemarin.  Padahal saya sudah bersemangat sekali, soalnya kata suami, selama hampir 5 tahun disini musim dingin tahun inilah yang paling dingin, di siang hari suhu bisa dibawah 10 sampai 5 derajat, apalagi kalau subuh hari, namun ternyata sangat singkat watunya. :P namanya juga afrika musim panasnya memang lebih mendominasi hampir di sepanjang tahun.

Beberapa hari ini, panas sudah bukan sekedar menyapa lagi, tapi dia sudah sungguhan menampakkan diri tanpa ragu-ragu. Tidak seperti beberapa minggu yang lalu saat cuaca masih labil-labilnya dengan suhu yang naik turun macam harga BBM di Indonesia.

Di awal musim panas ini, saya sudah menempati rumah (sewaan) yang baru. Padahal kalau bertanya ke hati saya, saya sudah sangat betah di rumah yang dulu. Dengan lokasi yang cukup dekat dengan Jami'ah dan harga yang sesuai dengan rumahnya, belum lagi saya dan suami sudah satu setengah tahun menetap disana,  ada banyak kenangan mulai dari awal- awal kedatangan, sedih, bahagia, galau, semangat, jatuh bangun semua di mulai dirumah itu. Bahkan awal kehidupan rumah tangga saya di mulai dirumah itu. Hingga 2 tahun pernikahan saya masih di rumah itu. Meski bertepatan setelah 2 tahun pernikahan, besoknya saya sudah harus angkat kaki. -_-

Bisa dibilang, kepindahan saya ini sedikit berbau drama. Setelah si yang punya rumah menaikkan harga sewa yang lumayan mencekik (?) kami akhinya memutuskan harus pindah, meski sebelum keputusan itu suami masih terus membujuk si yang punya rumah, tapi saat sudah mentok, akhirnya kami minta keringanan paling tidak memberikan kami waktu sampai setelah saya dan suami selesai imtihan (ujian). Akhirnya dia setuju, dan jadilah saya dan suami menjalani hari-hari imtihan sambil sibuk mencari rumah dan lumayan deg-degan tapi masih terus tawakkal bahwa akan ada jalan In syaa' Allah.

Setelah saya dan suami akhirnya selesai imtihan, di mulailah episode berkeliling mencari rumah yang  kami hanya diberi waktu seminggu oleh si yang punya rumah. Di Sudan mencari rumah itu tidak mudah. Kadang ada yang harganya sangat mahal padahal rumahnya tidak sebanding. Karena itu mencari rumah disudan butuh  tenaga dan waktu yang tidak sebentar, namun Alhamdulillah tepat sebelum waktu yang diberikan habis, suami akhirnya mendapat rumah yang disewakan tidak jauh dari rumah yang kami harus angkat kaki darinya (?). Meski waktunya mepet sekali dan sudah bikin deg-degan kalau-kalau kami beneran diusir padahal belum dapat rumah. *ckck. Sampai  adek di indonesia sudah komen, “kalian berdua itu tingkat ketawakkalannya tinggi sekali yah, masa besoknya udah mau disuruh minggat dapat rumahnya baru hari ini.” Hahahaa.

Dimulailah proses angkat barang. Saya sih tentu tidak ikut angkat barang ya, saya cuman menggandeng tas saya sendiri, dan bantal dua biji. Hahaa. Selebihnya diangkat oleh suami dan teman-temannya yang asli kassa’2 (kuat) sekalee. Masa koper yang gedenya muat satu orang bisa diangkat seorang diri, dan ini tidak pake mobil loh, dia ngangkatnya jalan kaki saja. MaasyaAllah. Sangat bersyukur, disaat membutuhkan ada banyak orang yang bersedia membantu. Proses pindah barang selesai, sekarang giliran saya dan suami yang sibuk beres rumah. Atur sana atur sini, angkat ini angkat itu. Dan akhirnya sudah  lumayan rapi dan bersih beberapa hari kemudian. Alhamdulillah.

Dan disinilah saya, sang  istri yang fulltime dirumah *asik. masih sibuk beres-beres berbagi macam hal dirumah, bikin sarapan tidak lagi buru-buru :p, bisa masak dengan tenang di pagi hari, membersihkan rumah dengan santai, dan malamnya tidak perlu nyuci baju lagi karena sudah dikerjain di pagi hari. Soalnya kalau kuliah jadi terbalik, berhubung saya kuliah pagi dari jam 8 sampai siang. Tapi setelah sebulan ini tidak kuliah karena saya sudah selesai Ma’had Lughoh, jadi ada sedikit kebosanan yang harus saya tepis. Masih harus menunggu beberapa bulan lagi. Ya setidaknya saya bisa berisitirahat sebelum kembali memulai proses ijroaat kuliah S1 dan setelahnya insyaAllah memulai perkuliahan (kalau lulus) aamiiiin.

Di rumah yang baru ini alhamdulillah saya sudah mulai bisa beradaptasi, Meski dihari-hari pertama masih berasa lumayan tidak nyaman dan sedikit takut. Sampai ditinggal suami sholat saja saya sudah meneror dia dengan sms-sms yang isinya kurang lebih sama “kak, cepatki pulang, takutkaa >_<” kalau kata ummi sih rumah baru memang seperti itu, apalagi rumah ini memang belum pernah ditinggali sebelumnya *mulaihorror* karena itu saya dan suami bergantian membaca surah Al Baqarah, atau paling tidak memutar murottal surah Al Baqarah, dan terbukti, setelah rajin membaca surah Al Baqarah, perasaan saya jadi lebih nyaman. Hehe. Intinya saya sangat bersyukur, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, saya dan suami sudah mendapatkan rumah untuk ditinggali, setidaknya hingga beberapa bulan kemudian. 


Cerita Imtihan




Cerita Imtihan (Ujian).

Imtihaan atau ujian yang akan saya bahas saat ini bukanlah mengenai imtihan kehidupan tapi lebih kepada imtihan di kampus dan bumbu-bumbunya. Hehe

Institute of Arabic language, international university of africa adalah institute yang khusus mengajarkan bahasa arab dan tsaqofah islamiyah, bisa dibilang Ma’had Lughoh ini adalah semacam kelas persiapan bahasa yang di indonesia mungkin lebih dikenal sebagai I’dad Lughawiy. Di Ma’had lughoh ada 3 Mustawa (semester) setiap mustawa nya tiga bulan, dan setiap 3 bulan itu pula akan ada ujian untuk naik ke mustawa berikutnya.
Nah berhubung saya hanya akan menceritakan soal bumbu-bumbu imtihannya, maka  saya skip dulu penjelasan soal ma’had lughoh. Selama 3 kali imtihan ini, dua diantaranya berdekatan waktunya dengan jadwal imtihan suami saya yang pada saat itu sedang kuliah  di Fakultas Islamic studies, international univ. Of africa

Karena itu sejak awal kami sudah saling bersepakat bahwa siapa yang sedang menjalani imtihan, maka akan di support penuh oleh yang tidak imtihan. Misalkan suami sedang imtihan maka suami untuk sementara tidak dulu membantu saya dalam pekerjaan rumah seperti biasanya. Dia hanya fokus belajar, dan saya yang mengerjakan pekerjaan rumah, saya akan menemani dia begadang, minum kopi, makan cemilan, dan menyemangati. Sebaliknya jika saya imtihan, hhm.. tentu peraturannya tidak akan sama persis. Haha.. saya tetap mengerjakan perkerjaan rumah tapi  beberapa jadwalnya akan dibagi. Seperti mencuci piring dan mencuci baju. Adapun membersihkan rumah dan memasak tentunya tetap saya. Secara dia tidak berbakat dalam hal membersihkan rumah, apalagi jika harus dia kerjakan sendiri. Haha. Tapi dia akan lebih mensupport saya dalam hal belajar, dia banyak membantu saya untuk pelajaran-pelajaran yang tidak saya pahami, menemani saya begadang, meski kadang lebih sering menggangu konsentrasi saya. -_-

Seperti saat imtihan mustawa 1 dan dia imtihan entah mustawa berapa saya sudah lupa.*toeng Semuanya berjalan sesuai dengan komitmen bersama. Alhamdulillah dia dan saya mumtaz, biidznillah. Imtihan mustawa 2 juga masih dengan kesepakatan itu.  Meski setelah imtihan mustawa 2 saya balik ke indonesia dan  saat suami ujian akhir S1 saya tidak mendampingi, L. Tapi kemudian semua berubah *bahasa apami ini* tatkala saya imtihan mustawa 3. Tanpa kami duga, jawal imtihan kami sangat amat berdekatan bahkan hanya beda sehari. Belum lagi suami yang sekarang sudah S2 (Tapi tetap tidak mau saya bilangin sudah Lc, katanya belum pantas. :P) jadi kesepakatan yang dulu itu entah sudah sirna atau saya dan suami yang pura-pura lupa.
Karena jadwal imtihan yang berdekatan, Jadi  tidak teraturlah pekerjaan rumah, kerjanya suka rela. Masak sih tetap saya tapi itupun yang praktis saja. Bikin cemilan dan minuman pas begadang juga suka rela, siapa saja yang lagi baik hatinya :P,  kita juga  jadi jarang ngobrol, sampai-sampai belajarnya di tempat terpisah. Saya di ruang tamu, suami di kamar (ini kebalik yah -_-) kenapa harus di ruang terpisah? Karena saya dan suami tipe orang yang kalau lagi belajar itu berisik nya minta ampun! Tidak ada istilah menghafal dalam hati, sudah macam menghafal quran mesti dijaharkan. Haha. Dan lagi kita sama-sama orang yang kalau lagi serius tidak bisa diganggu.  Jadi lah masa-masa imtihan kemarin kami bagaikan dua orang yang hidup dengan dunia masing-masing. Paling kalau mau berangkat ke kampus barulah saling menyemangati. Selain itu sudah  tidak terjelaskan, masih di dunia lain (?)

Alhamdulillah meski begitu, kami berdua tetap optimis (pasrah) dengan nilai kami berdua. Nilai saya sudah keluar, tinggal tunggu nilai suami. Setelah imtihan kami berdua memang sudah sama-sama sepakat, berapapun nilai kita berdua, mumtaz tidak mumtaz harus tetap bahagia *alasan. Lalala~*

Alhamdulillah masa imtihan kali ini sudah berlalu, masa-masa yang menegangkan sekaligus seru dan dirindukan. (serius?) hehe. Masa-masa begadang, wajah serius saat belajar, pulang dari kampus dengan lesu ataupun antusias menceritakan soal-soal imtihan, dan menanyakan jawaban-jawaban betul atau tidaknya. Khusus menanyakan jawaban, itu cuman berlaku buat saya. Karena kalau suami, sepertinya tidak mungkin dia bertanya betul tidaknya jawaban dia ke saya. Hahaha. Mana saya pahamlah ._. untuk saat ini tapinya. Insya Allah kalau terus belajar akan paham di masa depan. Hoho.

Saya hanya berdoa semoga imtihan-imtihan selanjutnya, saya dan suami terus bisa saling mendukung, membantu, bekerjasama dan menyemangati satu sama lain. Baik itu imtihan di kampus maupun imtihan kehidupan yang tentunya mebutuhkan kerjasama, kekuatan dan kesabaran yang lebih dan lebih. J 


Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers