Jika saja "Hijrah" hanya milik para Fasiqin, atau sudah demikian tak berhaknya mereka atas sapaan dan perlakuan keimanan, maka mungkin Mukminin tak akan diseru pada ayat: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar." (QS: At Tahrim:8)
Namun Allah Yang Maha Lembut, memanggil sekalian manusia yang di dalam dadanya masih ada iman sebagai "alladziina aamanuu": Orang-orang yang beriman. Ia tidak hinakan hamba-Nya dengan panggilan menyesakkan; walau buruk dosa telah berhimpun di sekujur tubuhnya.
Lantas, siapa kita yang dengan pongahnya melazimi taubat hanya 'jatah' mereka yang nampak maksiatnya? Diketahui dosa-dosanya? Dikenal kenistaannya?
Siapa yang mengajari kita bahwa "Hijrah" hanya perbuatan sekali seumur hidup? Sedang Allah saja mengampuni hamba-Nya setiap kali ia bersimpuh menyesali diri dalam taubat.
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat” (HR Muslim 2759)
Bukankah dosa ada yang dzahir adapula yang batin?
Anda, yang boleh jadi ditatap oleh makhluk dengan penuh kekaguman, sejatinya harus lebih banyak menyimpan penyesalan sekaligus kesyukuran; atas maksiat yang ditutupi dan aib-aib yang dijaga. Tak pernah ada penjaminan bahwa selamanya dosa kita akan rapi dalam sepi dan rahasia.
Di sisi lain, adapula yang menganggap: "Hijrah hanya bisa dirasakan bagi mereka yang punya masa lalu kelam."
Tidak salah mungkin.
Hijrah memang pada sebagian besarnya dirasai dengan amat mendalam oleh mereka yang pernah tenggelam dalam kejahilan. Kita mengenalnya secara jamak demikian. Namun membatasi Hijrah hanya pada mereka yang semisal, juga tidak tepat. Sehingga anak-anak yang terlahir dan bertumbuh dalam lingkungan religius seolah tersisih secara otomatis.
"Ah, kamu mah enak. Bapakmu Ustadz. Kalau kita, harus berjuang dulu baru bisa pakai jilbab." Seringkali kalimat semisal ini dilontarkan pada mereka yang terlihat beruntung karena bapaknya sudah Hijrah sebelum ia lahir.
Pada beberapa kesempatan, bahkan seolah menjelma eksklusifitas: Mereka yang tak melalui adegan heroik nan menyedihkan seakan dikeluarkan dari jajaran para "Pehijrah".
Hati-hatilah, Kawan. Sekali lagi. Mawaslah terhadap diri yang tanpa disadari mulai saling berbangga atas keberhasilan melewati ujian. Sayang sekali, jika kepayahan dalam cobaan itu, tak berarti lagi di mata Allah; Sebab ujub pada diri, sebab memandang rendah orang lain. Atau sebab iri pada nikmat yang Allah bagi dalam rupa-rupa yang tak sama.
Aisyah radhiallahu 'anha tak pernah berkurang kemuliaannya hanya karena bapaknya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu. Hasan dan Husein radhiallahu 'anhumaa tak lebih rendah derajatnya dari Ikrimah Bin Abi Jahl hanya karena kakeknya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sungguh, tak ada tradisi 'berbangga' dengan jumlah luka di jalan dakwah dalam keseharian manusia-manusia terbaik itu.
Pula amat sempit sekali jika hijrah kita maknai dengan kenikmatan yang hanya boleh dicicipi oleh mantan orang-orang 'awwam saja. Padahal benderang sekali, seruan Allah di atas ditujukan kepada seluruh yang di dalam dadanya masih ada iman; agar mereka bertaubat dengan semurni-murninya taubat. Agar mereka terus berhijrah menjadi dirinya yang terbaik.
Maka izinkan saya katakan: Hijrah adalah hak setiap kita. Hijrah kita mungkin tak sama. Tapi selama ia karena Allah, telah tertulis pahala yang sempurna.
Kita yang merasa sudah hijrah, telah merasa kaya kah dari pembaharuan hijrah?
Sedang di mata kita mungkin ada pandangan haram, di lisan dan telinga kita mungkin ada ghibah, di tangan kita mungkin ada kedzhaliman.
Kita membutuhkan Hijrah itu. Tiap hari. Tiap detik. Tiap masa dalam hidup kita. Tak pernah ada titik perhentian selain kematian.
Tak perlu engkau dianggap hebat, senior atau berpengalaman dalam dakwah, dalam pengorbanan, dalam ibadah, dalam ilmu.
Sebab yang melabeli itu semua hanyalah makhluk yang untuk keberlangsungan hidupnya saja membutuhkan hewan-hewan tak berakal dan tanaman-tanaman tak bernyawa sebagai penegak tulangnya.
Hijrahlah! Temukan Hijrahmu. Kejar ia. Pertahankan ia. Rawat dalam jiwa yang penuh kerendahan diri di hadapan Rabb yang kepadaNya segala sesuatu dikembalikan.
Al Faqirah Ilallah,
Nafisah Ikhwan.
0 komentar:
Posting Komentar