Minggu, 04 Mei 2014

Dengan apa saya berbakti?



Setiap kali berbicara mengenai kedua orang tua, tak ada hal lain selain haru mengingat segala perjuangan, pengorbanan dan jerih payah mereka dalam mengarungi kehidupan, membesarkan dan mendidik putra-putrinya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Hingga hari ini saya masih terus menangis dengan “jabe”nya ketika mengingat mereka. Baik ketika saya berada dekat dengan mereka, terlebih lagi ketika saya berada jauh, terpisah oleh jarak dari ummi dan aba.

Hari ini seperti biasanya, menjalani rutinitas sehari-hari, berangkat kuliah, naik reksya bersama suami, tak lupa membayar sejumlah pound sebelum turun dari reksya. Selanjutnya menyeberangi jalan raya 2 arah untuk kemudian sampai ke jami’ah ifriqiyah banat. Atau yang lebih kerennya, International University Of Africa. Hehe.

Tiba sejam sebelum masuk kelas nyatanya menjadi sangat bermanfaat. Langsung saja saya masuk ke dalam perpustakaan, bertemu teman yang sejak kemarin telah janjian, kemudian dengan segera mengeluarkan buku2 dan alat tulis untuk menyalin beberapa materi yang belum saya dapatkan.

Sejuknya ruang perpustakaan membuat saya tak menyadari waktu yang terus berlalu, hingga pukul 13.24  barulah saya menyadari, bahwa 6 menit lagi pelajaran akan segera dimulai. Saya dan temanpun bergegas keluar dari perpustakaan dan langsung berjalan menuju kelas. sungguh perbedaan udara yang sangat siginifikan. Di kelas panas terasa sangat menyengat sedang di perpustakaan tentu saja sejuk dan adem, bagaiamana tidak, Ac dengan indahnya nangkring di sudut-sudut ruangan. Namun inilah ujian dalam menuntut ilmu. Ujian yang tentu (catat: Sangat-sangat!) tak seberapa dengan ujian yang dihadapi para penuntut ilmu di zaman2 terdahulu

Pelajaran pertama dimulai, Al Qur’an. Seperti biasa ustadzah akan menyuruh salah satu dari kami untuk membacakan surah yang akan dihafalkan, baru kemudian tholibaat lain nya akan membaca setelahnya. Di indonesia kita tentu sudah tak asing dengan tahsinul qira’ah.

Pelajaran Al Qur’an hari ini berjalan dengan lancar. Kebetulan saat itu giliran saya yang mentahsin teman2 sekelas. Saya dan salah seorang teman memang diamanahkan untuk bergiliran mentahsin teman sekelas. Terkadang jika ustadzah tak masuk kami akan bergiliran menggantikan ustadzah mengajarkan Al Qur’an.

Hingga pelajaran pun berganti. Pelajaran kedua adalah ta’bir. Ustadzah kemudian masuk ke kelas setelah beberapa menit waktu istirahat. Tak seperti biasanya tholibat dari kelas lain ikut bergabung di kelas kami. Ternyata hari ini kami memiliki materi pelajaran yang sama “BIRRUL WALIDAIN”

Ustadzah yang satu ini memang terkenal kreatif. Ia lebih suka mengajar dengan cara yang variatif. Seperti hari ini ia membuat semacam perlombaan, dan membagi kami dalam 2 kelompok. Setiap kelompok akan naik satu orang perwakilan untuk berbicara mengenai birrul walidain. Begitu seterusnya bergantian kelompok 1 dan 2. Selanjutnya ustadzah akan memberikan nilai pada masing-masing pembicara yang kemudian akan menjadi nilai untuk kelompok mereka.

Pembicara pertama, ia menceritakan kesehariannya saat ia berada di negaranya. Bagaimana ia membantu umminya di rumah. Bagaimana ia mengkhidmat kedua orangtuanya saat sehat maupun sakit. Saya yang mendengar entah kenapa ikut membayangkan hari-hari ketika di indonesia. Pekerjaan sehari-hari yang terlihat sepele namun nyatanya dapat menjadi bagian dari bakti kita kepada kedua orangtua. Pembicara selanjutnya juga sama. Ia banyak menceritakan kesahariannya ketika bersama kedua orangtua.

Hingga sampai kepada salah seorang pembicara dari kelompok kami, ia berbicara dengan lancar masyaAllah. Ia cukup berbeda, ia menyampaikan bagian dari baktinya kepada kedua orangtua adalah ketika ia membangunkan kedua orangtuanya untuk sholat subuh berjamaah. Ketika ia berusaha untuk mengajarkan islam kepada ayahnya yang ternyata masih non muslim. Namun ia bersyukur sebab ibunya adalah muslimah. Ia bersedih ketika melihat ayanya yang membaca injil sementara ibunya membaca Al Qur’an. Ia menangis saat menceritakan bahwa ayahanya menganggap tuhan adalah yesus. Sambil tersedu2 ia menyampaikan, bahwa bagian dari birrul walidainnya adalah ia berangkat ke sudan atas restu ibunya, untuk mempelajari islam, kemudian pulang ke negaranya untuk mendakwahkan islam pada ayah dan keluarganya, Insya Allah.

Subhanallah... betapa banyak yang harus kita sadari! Terutama dan paling utama adalah saya sadari! Kesyukuran yang teramat sangat adalah bahwa kita mendapati diri kita terlahir sebagai muslim/muslimah, kedua orangtua, sanak keluarga adalah muslim/muslimah. Subhanallah. Pelajaran yang sangat berharga. Sedangakan muslimah yang ayahnya kafir saja, rela berjuang untuk mendakwahkan islam kepada ayahnya, dan dengan itulah ia berbakti. Lalu bagaiamana kita dengan kita yang memiliki orangtua yang jelas muslim/muslimah, dengan apa kita berbakti!? Dengan apa saya berbakti!?

Pertanyaan pertanyaan itu menohok tak henti dalam lamunan ku, hingga bisikan-bisikan dari teman-teman sekelompok akhirnya menyadarkan saya. Ternyata giliran sudah kembali sampai pada kelompok kami, dan teman-teman tak hentinya mendorong saya untuk maju kedepan. Mau tak mau saya kemudian bangkit dari duduk dan berjalan ke depan. Yah, dengan bahasa arab pas-pasan apa yang akan saya sampaikan?

Ustadzah terlebih dahulu mennyampaikan bahwa saya adalah pembicara yang terakhir. Saya kemudian mulai berbicara sambil membayang kan wajah ummi dan aba. Salam lalu menjadi pembuka dan awal dari kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut saya. Sekali lagi membayang kan perjuangan mereka, peluh dan kerja keras mereka! Dengan apa saya berbakti?? Tak terasa air mata  menetes tanpa diperintah, bahkan saat saya paksa ia untuk berhenti, ia tak juga berhenti. 

Sambil berusaha menahan tangsi, saya mencoba untuk berbicara di depan ustadzah dan tholibat...

Saat di indonesia, mungkin ada banyak hal yang bisa saya lakukan untuk mereka. Seperti membantu mereka dalam pekerjaan harian. Mengkhidmat mereka saat mereka butuh. Menemani mereka dalam bekerja dan berdakwah di jalan Allah. Membersamai mereka dalam perjuangan membumikan Al Qur’an. Saya dan saudara2 saya menjadi saksi betapa mereka jatuh bangun dalam perjuangan  di jalan dakwah, juga saat mereka baru mulai merintis  Daurah 40 hari menghafal Al Qur’an, hingga hari ini ketika telah banyak orang di negeri indonesia yang telah mengenal Daurah dan tersinari akan indahnya cahaya Al Qur’an dengan Izin Allah.

Namun ketika saya jauh, saat saya kembali ke negeri ini, Sudan. Dengan apa saya berbakti? Bagaimana saya membantu mereka?

DOA! Doa adalah kunci utama. Doakan mereka disetiap sholat dan waktu2 mustajab. Doakan mereka dengan doa2 terbaik dan terkhusyuk yang kita bisa. Doakan mereka untuk diberikan kesehatan dan penjagaan terbaik dari Allah subhanhu wata’ala. Agar kita dikumpulkan di jannahNya kelak insyaAllah

Kemudian setelah itu, hafalkanlah Al Qur’an. Saya tahu dan saya sadar, saya masih terus dalam tahap murojaah. Hafalan saya masih amat sangat dhoif. Namun saya ingin terus berjuang untuk mengitqankan hafalan ini, agara dapat menjadi syafaat di akhirat kelak. Menyaksikan mereka dipakaikan mahkota dan jubah kemuliaan, adalah cita-cita mulia yang saya tambatkan di sini, di dalam hatiku.

Kemudian setelah itu, belajar dengan sungguh-sungguh! Menuntut ilmu tanpa kenal lelah. Di perantauan ini, adakalanya saya merasa down, adakalanya saya merasa tak mampu. Seperti saat saya harus ketinggalan pelajaran selama 2 bulan lebih, dikarenakan kepulangan saya untuk berobat dan mengurusi berbagai kepentingan lainnya, dengan imtihan yang tinggal 2 pekan lagi. Namun kembali ummi dan aba meyemangati! “Ijtahidy yaa Aisyah!” kalimat itu bagaikan kalimat mutira yang terus saya bawa kemanapun saya melangkah. Mereka adalah motivator luar biasa. Hingga sekali lagi saya menyadari, betapa perjalanaan saya dalam menuntut ilmu ini adalah bagian dari birrul walidain. Mungkin saya jauh dari mereka. Namun dengan inilah saya berbakti Insya Allah. Maka dengan itu niat untuk belajar dengan sungguh-sungguh semakin tertancap di dalam hati.

Saya kemudian mengakhiri pembicaraan saya, sembari mengusap bekas air mata yang dengan “lebay” menetes tanpa diminta. Saya melihat teman-teman yang lain ikut menangis, mata mereka memerah, mungkin membayang orangtua mereka masing-masing. ustadzah kemudian berterima kasih kepada saya sambil tersenyum, beliau lalu membacakan doa kepada kedua orangtua dengan khidmat, diakhiri dengan ucapan “aamiin” dari seluruh tholibat yang ada di kelas.

Subhanallah, betapa indahnya Birrul Walidain. Ia menjadi kewajiban bagi setiap diri kita tanpa terkecuali. Baik saat kita berada dekat dengan mereka, atau saat kita masuk dalam barisan para perantau. Untuk teman2 yang sedang menunutut ilmu, jauh dari orang tua, percayalah, selalu ada jalan untuk kita berbakti pada orangtua. Seperti mendoakan mereka, belajar bersungguh2, atau bahkan menyisihkan uang saku demi membeli pulsa untuk menelepon mereka ditanah air. Mungkin saja mereka sedang sedih. Mungkin saja mereka sedang rindu dengan anak-anaknya yang kini jauh dari mereka.

Indah bukan, ketika kita bisa mendengar suara mereka? Itulah yang saya rasakan. Mendengar mereka melantunkan kalimat-kalimat nasehat membuat saya selalu tersenyum, bahkan terkadang menangis tertahan, lalu kemudian menyadari, lagi..lagi, dan lagi! Betapa berartinya orangtua dalam kehidupan ini. Hingga ikut tersadar, lagi..lagi, dan lagi! Betapa banyak DOSA yang telah saya perbuat kepada mereka. Astaghfiruka ya Allah...:’(

Hari ini, di negeri rantau ini, dengan panas yang kian menghempas, sungguh! Pun dengan ghubar yang merengsek masuk hingga ke paru-paru, saya hanya ingin menyampaikan kepada diri saya sendiri, bahwa MENYERAH BUKANLAH PILIHAN!

Ummi aba..Terima kasih untuk semuanya, segalanya, seluruhnya! Maafkan anakmu ini yang telah begitu banyak melakukan DOSA  kepada kalian. semoga dengan langkah demi langkah yang anakmu ini tapaki di negeri sudan, dapat menjadi bagian dari baktinya kepada kalian, Ummi aba. Anakmu ini, sungguh sangat mencintai kalian karena Allah. J


Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers