Kamis, 21 Januari 2016

Cerita Imtihan (Part 2)


“Allahu Akbar..Allahu Akbar..” sayup-sayup suara adzan mulai terdengar, pertanda telah masuk waktu sholat ‘ashr. Sesekali kulirik jam di tangan sambil tetap berkonsentrasi dengan lembar soal dan lembar jawaban. Suasana ruang ujian begitu hening, pengawas di depan terlihat fokus mengawasi setiap peserta ujian.

Kembali kuperiksa jawaban yang mulai kutuliskan sejak sejam lebih yang lalu, setelah yakin dengan jawaban yang kutulis, sayapun segera membereskan alat tulis, melipat kertas soal dan memasukkannya kedalam saku, kemudian menutup lembar jawaban, beranjak dari kursi dan memberikan lembar jawaban kepada pengawas. Sambil menggandeng ransel di pundak, saya berjalan keluar kelas.

Lega. Iya, legaaaaa sekali. Rasanya, baru kemarin saya mulai berkutat dengan muzakkiroh, kitab, talkhis dan sejenisnya, dan Alhamdulillah akhirnya hari yang saya nantipun tiba ; hari terakhir Imtihan. Serasa ingin teriak “Libur telah tiba, hatiku gembira!” hoho. :D Saya suka sekali dengan perasaan sejenis ini, perasaan “plong” saat berhasil melalui satu hal dengan izin Allah.

Imtihan kali ini punya ceritanya sendiri. Tentu saja berbeda dengan imtihan yang saya jalani semasa di Ma’had lughoh dulu. Bukan hanya pelajarannya yang memang otomatis bertambah rumit tapi juga cerita di baliknya.

Kira-kira pertengahan bulan desember kemarin saya bahkan masih belum pasti akan ikut ujian atau tidak. Sempat suami mengutarakan pendapatnya, kalau sebenarnya tidak mengapa saya tidak ikut ujian, sebab kemungkinan besar saya juga akan tetap keluar dari Diplom ‘Uluum Syar’iyyah untuk kemudian mendaftar Kuliah S1 (lagi). Saya juga sempat mengamini pendapat suami, “iya juga yah, daripada menguras waktu dan tenaga untuk ujian tapi pada akhirnya akan keluar juga” pikir saya saat itu. Tapi setelah berkonsultasi dengan Aba, ternyata aba justru tidak setuju dan berharap saya tetap ikut ujian dengan berbagai pertimbangan.

Setelah berdiskusi dengan suami, meditasi (?), plin-plan, sebentar iya sebentar tidak, saya dan suami pun akhirnya memutuskan kalau saya akan tetap ikut ujian, kepulangan ke Indonesiapun diundur menjadi 2 minggu setelah saya selesai ujian. Sebenarnya saya jenis orang yang sangat tidak suka mengerjakan sesuatu dengan setengah-setengah. Kadang saya bahkan lebih memilih mundur dengan pecundangnya saat saya tau saya tidak bisa maksimal dalam suatu pekerjaan. Sebab itulah saya mikir nya lama pake banget. Meski begitu saya juga tetap suka dengan tantangan.

3 minggu sebelum ujian saya akhirnya mulai mempersiapkan diri untuk imtihan, waktu yang ternyata masih kurang, ditambah dengan banyaknya muhadhoroh yang tidak saya ikuti. Yah, lagi-lagi disebabkan qobul yang terlambat. ‘Alaa kulli hal saya pun mulai berkonsentrasi dan memaksimalkan diri, meski perasaan “terdampar” itu tetap sesekali mengusik. Saya memang satu-satunya orang indonesia di kelas yang  hampir seluruhnya didominasi oleh orang Sudan. Adapun dari negara lain mungkin hanya ada 3 orang. Bahkan, saat ini mungkin saya satu-satunya mahasiswa indonesia yang kuliah di diplom washit jamiah ifriqiyah. Ckck. Padahal kalau melihat di Kulliyah lain, orang Sudan kalah banyak dengan mahasiswa-mahasiswi asing dari berbagai negara. Ternyata oh ternyata, di Jamiah ini orang sudan kebanyakan kuliah di Diplom. Setidaknya dari yang saya lihat seperti itu.

Kemudian dimulailah hari-hari persiapan hingga hari-hari imtihan. Seperti yang pernah saya tuliskan di Cerita Imtihan (Part 1), saya tipe orang yang kalau lagi ujian seakan berpindah ke dunia lain, plus saat belajar itu berisiknya minta ampun, walhasil suasana rumah 2 minggu terakhir ini dihiasi dengan suara berisik saya saat belajar. “saya itu kayak bercemin isyaah!” komentar kak rozi disela-sela keberisikan saya. Wajar saja dia merasa bercermin, sebab cara belajar saya dan dia memang sebelas-dua belas, tidak jauh beda. Meski menurutnya saya ini lebih ekstrem beberapa tingkat.

4 hari terakhir hingga tadi malam, saya memang terpaksa harus begadang dan bahkan tidak tidur sampai subuh. Sebab 3 maddah terakhir yang juga berat-berat akan saya ujiankan berturut-turut selama 3 hari tanpa jeda, berdempetan bagaikan perangko. Mungkin itulah yang membuat kak rozi berpikir saya ini tipe ekstremis dalam hal belajar. -_-

Selama masa imtihan beberapa kali komentar bernada ngambek dilontarkan suami saya, “kapokka’ isyah, kapok kurasa kalau kita ujian” dengan sangat saya sadari, dia terlihat berusaha membuyarkan konsentrasi saya dengan berbagai macam hal, seperti mempengaruhi, menghasut kalau saya itu harusnya santai saja, tidak perlu serius-serius amat, dan lain sebagainya. Beruntung saya tidak terpengaruh. Haha. :p  Setelah gagal menghasut dia biasanya hanya bilang, “sepertinya mudzakkirah lebih pentingmi dari suami di’..hmm..” Meski begitu, dia tetap saja banyak membantu saya saat ada pelajaran yang tidak saya pahami. Padahal dia juga tengah sibuk dengan proposal thesis, Ijroaat untuk tajdid Iqomah, khuruj audah, dan visa umroh. Alhamdulillah 

Setelah Imtihan berakhir, saya kembali menyadari bahwa pilihan saya untuk tetap ikut ujian adalah tepat. Saya sangat bersyukur. Kalaupun saya akan keluar dari diplom, toh bukankah ilmu yang sudah saya pelajari tidak akan sia-sia? Apalagi jika saya amalkan dan sampaikan ke orang lain. Bahkan di beberapa maddah yang saya pelajari di diplom, juga di pelajari teman-teman di dirosat. Untuk maddah yang sama, bahan pembelajarannya pun sama. Sebab itulah saya berpikir, takdir saya terdampar di diplom ini insya Allah tidak akan sia-sia. Kalau tahun ini saya diterima kuliah di Bachelor (aamiin), maka apa yang sudah saya pelajari di diplom ini tentu akan sangat bermanfaat. Kalaupun tidak diterima dan ada jalan lain yang Allah takdirkan untuk saya, maka tetap saja, ilmunya jika diamalkan dan didakwahkan tidak akan sia-sia. Semua pasti ada hikmahnya.

Finally, saya akhirnya harus mulai mempersiapkan berbagai macam hal untuk kepulangan ke indonesia 2 minggu lagi. Rasanya sudah kangeeeeen sekali. Dengan indo, dengan makassar, keluarga, dan tentu saja makanan khas makassar. Selama ujian salah satu yang menjadi penyemangat saya adalah dengan membayangkan songkolo bagadang, mie titi, pallumara, coto makassar, sop saudara, pallubasa, es pisang ijo, es kelapa muda, ahh... tidak ada habisnya. Makassar memang ngangenin parah.

Beberapa hari kedepan saya mungkin akan disibukkan dengan packing dan beres-beres rumah. Sebab selama saya pulang nanti, rumah yang saya tempati untuk sementara akan ditempati oleh beberapa orang syabab untuk mengisi kekosongan rumah. Maklum, cari rumah untuk disewakan di Sudan itu susah bingits, so kalau sudah dapat rumah yang sreg di hati dengan harga terjangkau harus dijaga baik-baik.

Baru saja suami saya kembali berkomentar, “Isyah, sadar tidak sudah 2 minggu  saya diduakan dengan mudzakkiroh, masa habis imtihan saya diduakan lagi dengan laptop?” hahaha.

Okelah. Sepertinya saya harus mengakhiri celotehan saya kali ini. Seperti biasa, saya menuliskan ini semua memang untuk saya kenang suatu hari nanti. Karena saya memang senang mengenang banyak hal, atau dengan kata lain “sulit move on” sukanya mengubek-ngubek kenangan. Seringakali saat lagi down,  membaca cerita-cerita yang saya tulis bisa menjadi penyemangat, membuat saya ketawa-ketiwi sendiri dan kembali ceria. Hehe.

Sipp lah. Sampai jumpa di cerita imtihan selanjutnya. Sehabis ini mungkin saya akan “sedikit” puas-puasin diri buat tidur. Mengingat lingkaran hitam di bawah mata saya sudah mencapai level akut, sedikit lagi saya bertampang psycho. Nauudzubillah -_- Okeeee sudahmi! Bye!

Khartoum, 21 Januari 2016.

#H-13 pulang ke indo Insyaa Allah.

Aisyah Ikhwan Muhammad.



Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers