Jumat, 05 Agustus 2016

Sebuah part kecil: "Drama ditinggal temus"


Harusnya sekarang ini saya memposting cerita umrah kemarin. Tapi entah kenapa saya kepikiran menulis yang lain. Labil memang. -_- Jadi beranda facebook saya itu lagi bermunculan berita mengenai temus (Tenaga Musiman Haji) tahun ini. banyak dari akun-akun PPI Timteng dan Afrika mengupload berita-berita terbaru seputar temus. Nah, jadilah saya flashback plus baper gegara teringat drama ditinggal temus tahun lalu. Padahal rasanya baru kemarin, ternyata sudah hampir setahun yang lalu.

Kenapa saya sebut “drama”? karena jujur, saya benar-benar seperti menjalani sebuah drama. Melodrama lebih tepatnya. Berat, amat berat. Meski begitu saya selalu meyakinkan diri, bahwa apa yang saya jalani saat itu pasti ada hikmahnya. Insya Allah! 

Selama 2 bulan saya terpaksa harus ditinggal suami di negeri orang. Jauh dari tanah air, di sebuah benua bernama afrika. Di negeri perjuangan bernama Sudan. Suami harus menjalankan amanah sebagai tenaga musiman haji, sekaligus menunaikan ibadah haji. Di satu sisi saya tentu sangat bersyukur. Bagi mahasiswa Sudan seperti kami, kesempatan itu tentu harus kami syukuri. Di sisi lain, ada yang harus dikobankan. Kondisi yang tidak memungkinkan bagi kami akhirnya membuat saya terpaksa harus tetap di Sudan.

2 bulan itu saya menghadapi banyak hal. Pengalaman dan pelajaran berharga, menangis, down, takut, dan merasa sendiri. Tanpa siapapun yang bisa saya andalkan kecuali Allah. Alhamdulillah di saat saya membutuhkan, Allah hadirkan orang-orang baik hati di sekitar saya. Jadi pada saat itu tidak ada yang bisa menemani saya di rumah, pun saya tidak berani untuk tinggal sendiri. Akhirnya selama 2 bulan saya menumpang dulu di salah satu rumah yang ditempati beberapa orang mahasiswi Indonesia-malaysia.

Alhamdulillah, mereka baik hati sekali mau mengizinkan saya tinggal disana. Kalau ingat kebaikan kakak Indonesia dan kakak malaysia, rasanya terharu sekali. Saya amat sangat bersyukur dan berterima kasih. Merekalah yang akhirnya membuat hari-hari saya tidak begitu kesepian. Pada saat itu saya memang belum mulai kuliah lagi. Saya lebih banyak dirumah.

Setiap 2-3 hari sekali, saya akan pulang ke rumah (rumah saya dan suami) untuk mencuci pakaian, membersihkan, dll. Rumah saya letaknya tidak jauh, jalan kaki sekitar 7 menit juga sudah sampai. Biasanya saya pulang ke rumah di pagi hari, dalam perjalanan saya kadang singgah di baqqolah membeli roti dan tho'miyah untuk sarapan. Setelah mencuci, beres-beres, nunggu pakaian kering, makan, tidur siang, (semuanya sendiri :p) sayapun balik lagi ke rumah kakak indo-malaysia. Saya selalu balik sebelum maghrib, sore hari setelah ashar. Awal-awal menjalani rutinitas tersebut saya kadang merasa sangat sepi… sendiri.

Setiap masuk ke rumah (rumah saya dan suami), saya baper lagi. :( salah satu yang kadang menambah ke-baperan adalah kalau lagi sendiri di rumah. Lihat baju-bajunya pak suami, sehari-hari tidak yang dimasakin, tidak ada yang bajunya menunggu disetrika, juga tidak ada yang sibuk minta dicucikan kalau pecinya ada noda sedikit. Tidak ada yang minta ditemani begadang belajar sampai tengah malam, tidak ada yang ditunggu ketukan pintunya yang lebih seperti gedoran -_- sambil bilang "assalamualaikum isyaah, ini kak rozi..." Setiap di rumah, saya coba saja untuk kuatkan hati. Alhamdulillah, seminggu-dua minggu berlalu, saya mulai terbiasa dengan rutinitas yang saya jalani.

Saya kadang masih menangis. Apalagi saat dihadapkan dengan berbagai masalah. Tanpa suami dan seorangpun keluarga di negeri orang, rasanya amatlah berat. Sejak awal saya datang ke Sudan, saya memang bersama suami. Sehingga saat harus sendiri jadinya lumayan shock. >_< Tapi dengan begitu saya semakin yakin, selama saya terus mendekatkan diri pada Allah, Allah yang akan jagain saya. Yakin, ada Allah yang melindungi saya.

Satu persatu masalah bermunculan. Mulai dari yang nampak maupun tidak (?) Suami dari jauh terus berjuang semampu yang dia bisa. Ummi dan aba juga tak henti mensupport dari berbagai sisi. 2 bulan itu saya belajar lebih mandiri, banyak bersyukur, bersabar, dan juga lebih berani. Contoh kecilnya: Suami saya itu orangnya sangat protektif, Alhamdulillah. Selama di Sudan jangankan naik muwasholat sendiri, naik reksya sendiri saja saya tidak boleh. Kemana-mana selalu bareng suami. Intinya saya itu anak rumah-kampus-rumah. Paling kalau jalan sendiri tidak jauh-jauh dari markaz dan jamiah. Soalnya rumah saya memang dekat jamiah banget. Sebab itu saat dia tidak ada, saya jadi harus belajar bagaimana tidak mengandalkan orang lain.

Akhirnya yang dulunya jalur muwasholat saja saya tidak tau jadi tau. Oh, kalau mau kesini naik bis yang ini. Bayarnya segini. Muwasholat kubri “kode tangannya”nya gimana, lain lagi kalau tujuan arobiy, sya’bi, dll. Lain pula dengan reksyah, kalau sudah tau harga aslinya tapi dinaikin sama ammu reksya, berarti kitanya yang mesti pintar-pintar menawar. Sebenarnya dari awal banget di Sudan juga sudah tau, tapi karena setiap jalan sama suami saya jarang memperhatikan, jadinya tidak terbiasa. Apalagi kalau soal jalan saya memang lamban. Jangankan di Sudan, di Makassar saja saya tidak hafal jalan. -_ - Oiya, untuk perkuliahan dan lika-liku ijroaat saya jadi lebih paham, yang mudah-mudah saja tapinya. :p Seperti periksa kesehatan, mengurus bithoqoh, bolak-balik jawazat jamiah, (kalau ke jawazat sya’bi sendiri mana berani -_-) Dsb. Biasanya kan ijroaat selalu sama suami.

Hal-hal kecil seperti itu jadi hikmah tersendiri buat saya. Nah, saat suami saya pulang malah dia-nya yang agak kaget. Mungkin dalam hati suami mikir, “istri gua 2 bulan ditinggal, kok berubah ya!?”:p Sebab sebelum dia temus, kalau kita jalan berdua biasanya saya mengikut saja. Sekarang kalau sudah tau mau kemana, saya thowwali naik bis tujuan. Dia lalu menyusul di belakang dengan muka bertanya-tanya. :p Misalnya juga kita lagi di jalan mau nyetop reksyah, sementara suami lagi nelpon, saya yang langsung menawar reksyah. hoho. Begitulah, lumayan menghibur.

Sungguh, 2 bulan tersebut menjadi cerita yang akan saya ingat untuk waktu yang lama. Kadang saat begitu banyak masalah, rindu, takut, dan sepi menumpuk dan sudah sangat menyesakkan, jadilah terbawa mimpi. Tidak jarang saat saya bangun ada air mata yang sudah mengering di pipi. Pernah juga kakak dari indo bilang ke saya, “aisyah, kamu tadi nangis pas tidur” ckck. Sepertinya saya ini memang kelebihan stock air mata. -_-

Lebaran Idul Adha telah tiba. Untuk pertama kalinya saya menjalani lebaran di negeri orang tanpa keluarga, tanpa suami. Alhamdulillah untuk setiap detiknya. Saya sungguh banyak belajar, bersyukur dan bersyukur. Akhirnya 2 bulan berlalu, dan pulanglah yang saya rindu dan tunggu-tunggu. 2 minggu sebelum suami pulang, saya juga sudah mulai kuliah. Kemudian berlalulah hari demi hari, semuanya kembali normal seperti biasa.

Masalah tentu tetap ada. Lika-liku tetap harus djalani. Naik turun jalan kehidupan itu sudah pasti. Namanya juga rumah tangga. Terlepas dari itu semua, saya dan suami belajar begitu banyak. 2 bulan perpisahan, saya di Sudan suami di Saudi. 2 bulan yang singkat tapi sangat bermakna, menjadi cerita dan satu part kecil yang akan kami kenang dalam rumah tangga kami. Suatu hari mungkin saya akan berkisah kepada anak-anak saya, “Dulu ummi pernah loh tinggal di Sudan bareng abi. Hidup susah senang sama-sama. Pernah juga ummi 2 bulan di Sudan ditinggal abi haji, dan semua itu dapat terlalui dengan izin Allah. Kemudian keinginan dan tekad yang kuat, juga keberanian.”

Cerita kenangan ini akhirnya menjadi pengingat sekaligus penyemangat bagi saya. Hari ini dan mungkin di hari-hari yang akan datang. Mungkin juga cerita ini hanya cerita sederhana, part kecil namun ternyata penting. Sebab sekecil, sesingkat, dan sesederhana apapun suatu perjalanan dalam rumah tangga, bukankah ia tetap bagian dari seluruh perjalanan? Semoga Allah senantiasa membimbing kami dalam setiap perjalanan ini…  


Makassar, Jum’at 5 Agustus 2016.


Aisyah Ikhwan Muhammad.





0 komentar:

Posting Komentar

Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers