Harusnya sekarang ini saya memposting cerita umrah
kemarin. Tapi entah kenapa saya kepikiran menulis yang lain. Labil memang. -_-
Jadi beranda facebook saya itu lagi bermunculan berita mengenai temus (Tenaga
Musiman Haji) tahun ini. banyak dari akun-akun PPI Timteng dan Afrika
mengupload berita-berita terbaru seputar temus. Nah, jadilah saya flashback
plus baper gegara teringat drama ditinggal temus tahun lalu. Padahal rasanya
baru kemarin, ternyata sudah hampir setahun yang lalu.
Kenapa saya sebut “drama”? karena jujur, saya
benar-benar seperti menjalani sebuah drama. Melodrama lebih tepatnya. Berat,
amat berat. Meski begitu saya selalu meyakinkan diri, bahwa apa yang saya
jalani saat itu pasti ada hikmahnya. Insya Allah!
Selama 2 bulan saya terpaksa harus ditinggal suami di
negeri orang. Jauh dari tanah air, di sebuah benua bernama afrika. Di negeri
perjuangan bernama Sudan. Suami harus menjalankan amanah sebagai tenaga musiman
haji, sekaligus menunaikan ibadah haji. Di satu sisi saya tentu sangat bersyukur.
Bagi mahasiswa Sudan seperti kami, kesempatan itu tentu harus kami syukuri. Di
sisi lain, ada yang harus dikobankan. Kondisi yang tidak memungkinkan bagi kami
akhirnya membuat saya terpaksa harus tetap di Sudan.
2 bulan itu saya menghadapi banyak hal. Pengalaman dan
pelajaran berharga, menangis, down, takut, dan merasa sendiri. Tanpa siapapun
yang bisa saya andalkan kecuali Allah. Alhamdulillah di saat saya membutuhkan,
Allah hadirkan orang-orang baik hati di sekitar saya. Jadi pada saat itu tidak
ada yang bisa menemani saya di rumah, pun saya tidak berani untuk tinggal
sendiri. Akhirnya selama 2 bulan saya menumpang dulu di salah satu rumah yang
ditempati beberapa orang mahasiswi Indonesia-malaysia.
Alhamdulillah, mereka baik hati sekali mau mengizinkan
saya tinggal disana. Kalau ingat kebaikan kakak Indonesia dan kakak malaysia,
rasanya terharu sekali. Saya amat sangat bersyukur dan berterima kasih.
Merekalah yang akhirnya membuat hari-hari saya tidak begitu kesepian. Pada saat
itu saya memang belum mulai kuliah lagi. Saya lebih banyak dirumah.
Setiap 2-3 hari sekali, saya akan pulang ke rumah
(rumah saya dan suami) untuk mencuci pakaian, membersihkan, dll. Rumah saya
letaknya tidak jauh, jalan kaki sekitar 7 menit juga sudah sampai. Biasanya saya
pulang ke rumah di pagi hari, dalam perjalanan saya kadang singgah di baqqolah
membeli roti dan tho'miyah untuk sarapan. Setelah mencuci, beres-beres, nunggu
pakaian kering, makan, tidur siang, (semuanya sendiri :p) sayapun balik lagi ke
rumah kakak indo-malaysia. Saya selalu balik sebelum maghrib, sore hari setelah
ashar. Awal-awal menjalani rutinitas tersebut saya kadang merasa sangat sepi…
sendiri.
Setiap masuk ke rumah (rumah saya dan
suami), saya baper lagi. :( salah satu yang kadang menambah ke-baperan adalah
kalau lagi sendiri di rumah. Lihat baju-bajunya pak suami, sehari-hari tidak
yang dimasakin, tidak ada yang bajunya menunggu disetrika, juga tidak ada yang
sibuk minta dicucikan kalau pecinya ada noda sedikit. Tidak ada yang minta
ditemani begadang belajar sampai tengah malam, tidak ada yang ditunggu ketukan
pintunya yang lebih seperti gedoran -_- sambil bilang "assalamualaikum
isyaah, ini kak rozi..." Setiap di rumah, saya coba saja untuk kuatkan
hati. Alhamdulillah, seminggu-dua minggu berlalu, saya mulai terbiasa dengan
rutinitas yang saya jalani.
Saya kadang masih menangis. Apalagi saat dihadapkan
dengan berbagai masalah. Tanpa suami dan seorangpun keluarga di negeri orang,
rasanya amatlah berat. Sejak awal saya datang ke Sudan, saya memang bersama
suami. Sehingga saat harus sendiri jadinya lumayan shock. >_< Tapi dengan
begitu saya semakin yakin, selama saya terus mendekatkan diri pada Allah, Allah
yang akan jagain saya. Yakin, ada Allah yang melindungi saya.
Satu persatu masalah bermunculan. Mulai dari yang
nampak maupun tidak (?) Suami dari jauh terus berjuang semampu yang dia bisa.
Ummi dan aba juga tak henti mensupport dari berbagai sisi. 2 bulan itu saya
belajar lebih mandiri, banyak bersyukur, bersabar, dan juga lebih berani. Contoh
kecilnya: Suami saya itu orangnya sangat protektif, Alhamdulillah. Selama di
Sudan jangankan naik muwasholat sendiri, naik reksya sendiri saja saya tidak
boleh. Kemana-mana selalu bareng suami. Intinya saya itu anak
rumah-kampus-rumah. Paling kalau jalan sendiri tidak jauh-jauh dari markaz dan
jamiah. Soalnya rumah saya memang dekat jamiah banget. Sebab itu saat dia tidak
ada, saya jadi harus belajar bagaimana tidak mengandalkan orang lain.
Akhirnya yang dulunya jalur muwasholat saja
saya tidak tau jadi tau. Oh, kalau mau kesini naik bis yang ini. Bayarnya
segini. Muwasholat kubri “kode tangannya”nya
gimana, lain lagi kalau tujuan arobiy, sya’bi, dll. Lain pula
dengan reksyah, kalau sudah tau harga aslinya tapi dinaikin sama ammu reksya,
berarti kitanya yang mesti pintar-pintar menawar. Sebenarnya dari awal banget
di Sudan juga sudah tau, tapi karena setiap jalan sama suami saya jarang
memperhatikan, jadinya tidak terbiasa. Apalagi kalau soal jalan saya memang
lamban. Jangankan di Sudan, di Makassar saja saya tidak hafal jalan. -_ - Oiya,
untuk perkuliahan dan lika-liku ijroaat saya jadi lebih paham,
yang mudah-mudah saja tapinya. :p Seperti periksa kesehatan, mengurus bithoqoh,
bolak-balik jawazat jamiah, (kalau ke jawazat sya’bi sendiri
mana berani -_-) Dsb. Biasanya kan ijroaat selalu sama suami.
Hal-hal kecil seperti itu jadi hikmah tersendiri buat
saya. Nah, saat suami saya pulang malah dia-nya yang agak kaget. Mungkin dalam
hati suami mikir, “istri gua 2 bulan ditinggal, kok berubah ya!?”:p
Sebab sebelum dia temus, kalau kita jalan berdua biasanya saya mengikut saja.
Sekarang kalau sudah tau mau kemana, saya thowwali naik bis
tujuan. Dia lalu menyusul di belakang dengan muka bertanya-tanya. :p Misalnya
juga kita lagi di jalan mau nyetop reksyah, sementara suami lagi
nelpon, saya yang langsung menawar reksyah. hoho. Begitulah, lumayan menghibur.
Sungguh, 2 bulan tersebut menjadi cerita yang akan
saya ingat untuk waktu yang lama. Kadang saat begitu banyak masalah, rindu,
takut, dan sepi menumpuk dan sudah sangat menyesakkan, jadilah terbawa mimpi.
Tidak jarang saat saya bangun ada air mata yang sudah mengering di pipi. Pernah
juga kakak dari indo bilang ke saya, “aisyah, kamu tadi nangis pas tidur” ckck.
Sepertinya saya ini memang kelebihan stock air mata. -_-
Lebaran Idul Adha telah tiba. Untuk pertama kalinya
saya menjalani lebaran di negeri orang tanpa keluarga, tanpa suami.
Alhamdulillah untuk setiap detiknya. Saya sungguh banyak belajar, bersyukur dan
bersyukur. Akhirnya 2 bulan berlalu, dan pulanglah yang saya rindu dan
tunggu-tunggu. 2 minggu sebelum suami pulang, saya juga sudah mulai kuliah.
Kemudian berlalulah hari demi hari, semuanya kembali normal seperti biasa.
Masalah tentu tetap ada. Lika-liku tetap harus
djalani. Naik turun jalan kehidupan itu sudah pasti. Namanya juga rumah tangga.
Terlepas dari itu semua, saya dan suami belajar begitu banyak. 2 bulan
perpisahan, saya di Sudan suami di Saudi. 2 bulan yang singkat tapi sangat
bermakna, menjadi cerita dan satu part kecil yang akan kami kenang dalam rumah
tangga kami. Suatu hari mungkin saya akan berkisah kepada anak-anak saya, “Dulu
ummi pernah loh tinggal di Sudan bareng abi. Hidup susah senang sama-sama.
Pernah juga ummi 2 bulan di Sudan ditinggal abi haji, dan semua itu dapat
terlalui dengan izin Allah. Kemudian keinginan dan tekad yang kuat, juga
keberanian.”
Cerita kenangan ini akhirnya menjadi pengingat
sekaligus penyemangat bagi saya. Hari ini dan mungkin di hari-hari yang akan
datang. Mungkin juga cerita ini hanya cerita sederhana, part kecil namun
ternyata penting. Sebab sekecil, sesingkat, dan sesederhana apapun suatu
perjalanan dalam rumah tangga, bukankah ia tetap bagian dari seluruh perjalanan? Semoga
Allah senantiasa membimbing kami dalam setiap perjalanan ini…
Makassar, Jum’at 5 Agustus 2016.
Aisyah Ikhwan Muhammad.