Senin, 29 Juni 2015

Mengapa Sudan?


Sebagai salah seorang perantau di sebuah negara di benua afrika ini, saya kerap kali di lontarkan berbagai macam pertanyaan yang klise menurut saya. “Apa yang membuat saya betah di Sudan? kenapa memilih sudan? bukankah di Sudan beasiswanya kecil?  bukannya disana panas banget yah? apa disana aman? kerusuhan kah?” dan masih banyak lagi pertanyaan yang kadangkala jika sudah malas saya jawab, hanya akan saya tanggapi dengan senyuman penuh arti. :p

Jangankan teman-teman, petugas kepo bandara soekarno hatta saja beberapa kali menanyakan pertanyaan yang sama dengan raut wajah heran, “mau ke sudan, mba? ngapain disana? bukannya lagi perang yah?” Sambil memindahkan koper saya hanya menanggapinya dengan santai, “Iya, mau kuliah, ga ada perang kok, pak, saya kuliahnya di Khartoum, Insyaa Allah aman.” “oh gitu, oke hati-hati ya, mba.” ucap si petugas bandara menanggapi.

Sebenarnya sejak awal saya juga tidak pernah terpikirkan untuk memilih bumi Sudan sebagai tempat saya menimba ilmu, takdir Allah lah yang membawa saya ke sini, setelah sebelumnya saya ditakdirkan pula untuk menikah dengan seorang pria yang kebetulan kuliah di Sudan. Hoho. Jadi  mau tidak mau saya harus ikut suami ke Sudan. Nah dari sinilah niat itu tertanam, bahwa saya ke Sudan adalah untuk mendampingi suami dan menuntut ilmu.

Semenjak hidup di Sudan ada banyak hal yang dipertontokan dengan nyata kepada saya, bahwa inilah kehidupan. Sungguh saya belajar banyak hal disini. Menjelang 2 tahun di Sudan, pelajaran dan makna-makna hidup yang saya dapatkan luar biasa banyaknya. Alhamdulillah.

Seingat saya, kami tiba di Sudan menjelang subuh hari sehingga panasnya belum terlalu terasa, nah saat siangnya saya diajak keluar oleh suami untuk membeli beberapa kebutuhan, di situlah saya merasakan tamparan-tamparan angin hot yang luar biasa, tapi Alhamdulillah pada saat itu saya tidak berkomentar banyak, mengapa? karena sebelumnya suami sudah mengingatkan, “ini belum panas yah, masih ada yang lebih panas.” -_- 


Adapun para mahasiswa di Sudan sudah lebih memahami dan bisa berkompromi dengan perubahan cuaca ekstrem yang terjadi di sudan. Sebenarnya mereka bukannya sangat tahan panas dan tidak merasakan beratnya cuaca ekstrem, namun seiring berjalannya waktu, mereka sudah sudah lebih tahu bagaimana beradaptasi dan berinteraksi di tengah cuaca yang panas membara, Mereka tetap bisa tersenyum bersama meski di hempas angin yang sungguh hot. “Bagai di elus-elus besi panas, yah.” canda suami saya di suatu waktu. “Sudan ngga panas kok, cuman hangaaat” celetuk teman suami di lain waktu. Mereka yang telah menjalani suka duka kehidupan sudan sudah lebih terbiasa. Panas membara hampir di sepanjang tahun bukan lagi suatu hal yang aneh, mereka bahkan lebih sering memilih menjadikan panas sebagai bahan gurauan dan ajang untuk memperbanyak rasa syukur ketimbang mengeluh pada keadaan. MaasyaAllah..:)


Lalu bagaimana kehidupan di sudan? iya seringkali kami memang kesulitan dan kesusahan. Tapi susah tidak harus selalu payah, bukan? sulit juga bukan berarti tidak bisa meraup Ilmu yang bermanafaat sebanyak-banyaknya, serta pengalaman hidup dan pelajaran-pelajaran berharga yang tidak kalah pentingnya. Kesulitan tidak serta merta bisa menghalangi kebahagiaan. Memang sedikit sulit mendeskripsikan bagaimana kehidupan di Sudan dengan kata-kata, mungkin memang hanya merekalah para perantau negeri 2 nil ini yang bisa memahaminya dengan baik. Jadi jika ingin tahu, ayo ke Sudan. hoho.

Sebenarnya penggambaran selama ini bahwa afrika terkhusunya Sudan itu menyeramkan tidaklah sepenuhnya benar. Serius loh, ada banyak keindahan di Negeri 2 Nil ini, (di sebut negeri 2 nil disebabkan Sudan adalah negeri tempat bertemunya 2 anak sungai Nil yaitu nil putih dan nil biru). lalu dimana letak keindahan Sudan? ya, kita memang harus mencarinya dengan seksama. Sebab keindahnnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tidak pula selalu bisa digambarkan secara fisik, tapi ia tumbuh perlahan di hati. J

Lalu apa yang paling membuat saya betah di sudan? Saya pikir itu karena ilmu. Semenjak saya kuliah di Ma’had lughoh, saya bertemu dengan berbagai macam orang dari berbagai negara, dengan bahasa yang beragam  namun dipersatukan dengan bahasa arab. Bertemu dengan ustadzaat yang luar biasa menurut saya, di Sudanlah saya memulai kembali menuntut ilmu di bangku kelas :p saya belajar bahasa arab dan ilmu-ilmu syar'i, dan juga yang tidak kalah penting, saya belajar bagaimana bergaul dengan orang-orang dari berbagai negara. Sedikit banyak saya mulai mengenali karakter-karakter mereka yang sangat beragam, menjadi akrab, teman, bahkan sahabat yang sangat dekat di hati.

Setelah sedikit-sedikit sudah lebih paham bahasa arab, suami mulai mengajak saya mengikuti kajian atau talaqqi di Sudan. Alhamdulillah bertumpah ruah rasa syukur bisa menimba ilmu langsung dari para Ulama' di Sudan ini, duduk di majelis mereka, meski belum paham sepenuhnya, tapi setidaknya dengan banyak mendengarkan, insyaAllah akan lebih terbiasa.

Jadi kala di tanya apa yang membuat saya betah di sudan? Maka dia adalah ilmu. Rasanya kesulitan yang saya hadapi di sudan ini sangat tidak pantas untuk dibandingkan dengan ilmu yang saya dapatkan. Begitu pula ketika saya bertanya kepada suami, apa yang membuat dia betah 5 tahun di Sudan, jawaban yang sama akan dia ucapkan, ilmulah yang membuat dia betah, dan tentunya selain ilmu, kebersamaan kami berdua pula yang membuat kami betah. ya iyalah masa LDR terus.

Selain itu kebersaman dengan para mahasiswa Indonesia yang ada di sudan juga menambah kehangatan dan kesyukuran, juga para ummahat (ibu-ibu) di Sudan, sebagian dari mereka ada yang sudah lama menetap, mereka membangun keluarga, melahirkan dan membesarkan putra-putri mereka disini sambil terus menuntut ilmu. Mereka tampak kuat dan sabar menjalani tahun demi tahun perjalanan di tanah rantau, sebagian dari mereka ada yang bahkan tidak pernah pulang ke tanah air selama bertahun-tahun. Maasya Allah. Mereka pula yang selalu memotivasi saya untuk semangat menuntut ilmu di Sudan, meski sebagian dari mereka sudah banyak yang kembali ke tanah air disebabkan studi yang telah selesai.

Setiap kali kesulitan melanda, suami selalu meyakinkan saya, dan dengannya saya meyakinkan diri sendiri bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hambaNya, bahwa yang kita butuhkan adalah usaha dan doa terus menerus, kemudian tawakkal, menyerahkan semuanya kepada Allah. disaat ujian datang silih berganti kembali saya mengingatkan diri sendiri akan niat awal kedatangan, bahwa saya datang untuk mendampingi suami dan menuntu ilmu, dengannya semangat akan kembali tumbuh. Saya juga banyak belajar dari suami yang sudah lama di negeri ini, ia tipe orang yang sangat optimis (kadang malah kelewat optimis :p), selalu ia nasihatkan kepada saya agar tidak khawatir makan apa esok hari, bagaimana membayar sewa rumah, bagaimana ini dan bagaimana itu, namun sebaliknya, sekali lagi terus saja berdoa, berusaha, dan bertawakkal, dan yakinilah bahwa pertolongan Allah itu dekat.

Saya jadi teringat saat suami saya banyak menceritakan jatuh bangun kehidupan bujangnya selama di Sudan, demi memenuhi kebutuhannya dan tidak membebani orangtua di tanah air, dia mencoba bekerja sampingan sambil kuliah, semua demi terus bertahan hidup dan menuntut ilmu di negeri Sudan. Bukan hanya suami saya, bekerja ataupun berbisinis adalah suatu hal yang lumrah bagi para mahasiswa-mahasiwi di Sudan. Kadang ada yang menjual makanan,  pernak-pernik, barang elektronik, ataupun mengajar privat, itu semua demi memenuhi kebutuhan mereka tanpa harus terus bergantung pada orangtua di Indonesia apalagi bagi yang memang tidak mendapat kiriman dari orangtua maupun donatur. Beasiswa di Sudan hanya cukup untuk membayar biaya kuliah, asrama dan makan, selebihnya ditanggung sendiri, tidak ada mukafa'ah, karena itulah bekerja sampingan kadang menjadi pilihan selama ia tidak melenakan dari menuntut ilmu tentunya.

Dan lagi-lagi inilah secuil mengenai Sudan, meski dengan berbagai kekurangannya, dengan ke”hangat”annya, kesulitan hidup, mahalnya harga kebutuhan, sulitnya mencari rumah dengan biaya sewa yang sesuai, beasiswa  minus mukafa'ah yang sebagian besar hanya diperuntukkan bagi mahasiwa S1, belum lagi pengiriman uang yang sulit (tidak bisa melalui ATM), ditambah pengurusan administrasi yang seringkali bikin mumet dan kadang "sedikit" memancing emosi... ya begitulah, Insyaa Allah segala halangan rintangan (membentang tak jadi masalah dan tak jadi... *abaikan*) tidak akan menyurutkan langkah para perjuang di Sudan, biidznillahi ta'ala. :) dan jujur saja, dengan berbagai ke”gado2annya” negeri Sudan ini, saya sejak awal sudah merasa, bahwa suatu saat jika saya harus meninggalkan Sudan, maka saya akan benar-benar  kangen sekangen-kangennya dengan berbagai macam keunikan dan nano-nanonya tinggal di negeri ini. Semoga semua penempaan di negeri ini semakin  menguatkan bukannya melemahkan, dan semoga pula pengalaman hidup di tanah rantau ini menjadi bekal yang berati buat kita di masa yang akan datang. Aamiin. 

Lalu apa indahnya Sudan? kan sudah saya tulis di atas tadi :p indahnya sudan itu tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. tapi ia dirasakan disini, di dalam hati, broo. :)

pemandangan sungai nil putih sewaktu rihlah ke jabal aulia. :) 

Khartoum, baru di posting 29 Juni 2015 (setelah ditulis beberapa bulan yang lalu dan nangkring di laptop sekian lama) :p


Aisyah Ikhwan Muhammad.




11 komentar:

PKBM INSAN MA'ARIF at: 25 Maret 2016 pukul 06.33 mengatakan...

masih di sudan kah?

PKBM INSAN MA'ARIF at: 25 Maret 2016 pukul 06.34 mengatakan...

masih bingung mw kuliah di sudan -_-

Berkarakter1 at: 17 April 2016 pukul 07.24 mengatakan...

Seru bacanya :D

Shanti Chan at: 26 September 2016 pukul 07.37 mengatakan...

Mb aku mau tanya2 ttg lelaki Sudan, bisa mb? Via imel: santichan2141@gmail.com. Butuh temen utk diskusi :(

Shanti Chan at: 26 September 2016 pukul 07.40 mengatakan...

Mb aku mau tanya2 ttg lelaki Sudan, bisa mb? Via imel: santichan2141@gmail.com. Butuh temen utk diskusi :(

Nasyaa at: 19 Januari 2017 pukul 00.10 mengatakan...

assalammualaikum.
saya siswi kelas 3 jurusan timur tengah di madrasah 'aliyah, perguruan islam Ar risalah, padang, sumbar.
saya ingin bertanya, bagaimana kondisi ekonomi serta keamanan di sudan skrg? serta sebagai mahasiswa s1 biasanya membutuhkan biaya hidup berapa rupiah/dollar untuk 1 bulan?
syukron.

meutia rahmah at: 23 Mei 2017 pukul 19.10 mengatakan...

ah jadi kangen sudan, pingin ke jabal aulia lagi. insyaallah akan balik lagi ke sana. salam kenal aisyah :)

Aisyah Ikhwan Muhammad at: 27 Mei 2017 pukul 07.06 mengatakan...

Maasya Allah...salam kenal juga kak meutia. ayo balik sudan lagi hehe 😄

Aisyah Ikhwan Muhammad at: 27 Mei 2017 pukul 07.07 mengatakan...

Maasya Allah...salam kenal juga kak meutia. ayo balik sudan lagi hehe 😄

Unknown at: 20 Oktober 2018 pukul 22.30 mengatakan...

Kak.. masih di sudan nggak? Aku mau nanya2.. ada kontak yg bisa dihubungi secara langsung?

Unknown at: 4 Maret 2019 pukul 19.53 mengatakan...

Kak boleh tanya tanya tentang sudan enggak. Mntak wany kak

Posting Komentar

Who am i?

Foto saya
Khartoum, Al Khartoum, Sudan
Ikhwan's No.3 | Fakhrurrazi's 💍| Cintanya Al amin Muhammad| Student Mom yang menikah di usia 16 dan masih terus belajar menjadi Ibu, Istri, dan anak yang sholihah.

Followers