Selasa,
24 Maret 2020
Day- 9 #Dirumahaja
#selflockdown
Rasanya sudah lama sekali, sejak saya
memiliki niat untuk kembali mengunjungi blogku yang renta ini. Bisa dilihat
dari last post yang ternyata sudah 2 tahun yang lalu. Wah, betapa saya
merindukan masa-masa nge-blog. Saat saya tahu bahwa yang membaca postinganku
mungkin hitungan jari, namun tetap saja saya bahagia dan menikmati saat-saat
itu. Berkelana dengan tulisan dan memori perjalanan. Menuangkan apa saja yang
ingin kuceritakan. Menyimpan banyak hal yang hari ini menjadi kenangan.
Kondisi saat ini tiba-tiba
memunculkan tekadku untuk kembali berkelana di blog. Kupikir ini akan ampuh
sebagai healing dan menormalkan pikiran. Berhari-hari dalam perasaan was-was,
membuat saya lumayan sulit berpikir jernih. Setiap hari yang saya lihat dan baca,
adalah informasi yang rasanya membuat jantung berdetak lebih kencang. “Apakah korban
meninggal bertambah?” “Apakah pasien positif bertambah?”
Berdasarkan himbauan pemerintah,
hari ini tepat 9 hari masa karantina mandiri. Dunia sedang tidak baik-baik
saja. Negeriku sedang berperang. Sebuah makhluk ciptaan Allah berupa Virus yang
oleh manusia diberi nama Covid-19, menjadi momok menakutkan bagi banyak orang
di seluruh dunia. Virus yang beberapa bulan lalu pertama kali muncul di kota
Wuhan, China, kini telah tiba di negeri sendiri. Di Makassar, berdasarkan
update Dinas Kesehatan Sul-Sel 2 hari yang lalu, terhitung 2 orang positif
covid-19, 1 orang meninggal. Berikut 95 ODP dan 28 PDP. Masa Tanggap Darurat
Covid-19 di Indonesia telah diperpanjang hingga 29 Mei 2020.
Sekolah dan perkantoran diliburkan.
Segala kegiatan yang melibatkan banyak orang ditunda. Social distancing adalah
keharusan. Kita tidak lagi bersalaman, cipika-cipiki, apalagi saling berpelukan
dengan orang lain. Semua orang diminta untuk tetap di rumah. Melakukan
karantina mandiri demi memutus rantai penyebaran virus. Banyak Masjid ditutup
sementara. Adzan tetap berkumandang di 5 waktu Sholat, yang berbeda adalah
tambahan lafadz, “Shollu fi buyutikum.” Sholatlah kalian di rumah-rumah
kalian.
Sedih, takut, khawatir. Campur
aduk perasaan selama berhari-hari. Saya sendiri tergolong manusia rumahan. Saya
baru akan keluar gua alias rumah saat akan travelling ataupun sekadar mengikut
suami. 2 tahun terakhir saya memang menjalani kuliah jarak jauh, karena
itu saya terbiasa menghabiskan waktu di rumah saja. Namun ternyata, kebiasaan
itu tidak sepenuhnya membantu. Situasi kali ini sangat berbeda. Ditambah suami
yang sejak seminggu lalu dirawat di rumah sakit. Semua itu semakin menambah
kecemasan.
Sholat, doa, dan Al Qur’an. Kita
tahu, tidak ada lagi yang paling ampuh memberi ketenangan hati selain dari
mengingat Allah. Maka dari itu, Doa wajib semakin dikuatkan, segala ikhtiar
dimaksimalkan, dan memang tawakkal-lah yang harus menjadi pilihan.
Sejujurnya saya bahkan tidak tahu
tulisan ini akan mengarah kemana. :D Tapi, sebaiknya saya berpindah pembahasan.
Berhubung baru saja saya putuskan, untuk sementara ini mencukupkan diri dari
segala macam informasi dan update berkaitan covid-19. Terlalu berlebihan menerima informasi
juga tidak baik sepertinya.
“23.03.13 – 23.03.14. Kemarin,
setahun yang lalu.” Begitulah yang tertera dalam postingan kenangan 6 tahun yang lalu di akun Facebook saya hari ini. Seperti yang juga saya tuliskan di post FB barusan, membuka status lawas di fb itu bagai membuka catatan lama. Sebagai warga IG yang kata suami telah khianat pada fb, kadang jadi suka geli sendiri bacanya. Haha :D Tapi hari ini, berkat postingan itu saya malah diingatkan. 7 Tahun sudah berlalu rupanya. Sejak kali
pertama saya melangkahkan kaki di sebuah labirin kehidupan bernama pernikahan.
Memasuki tahun ke-8, ada banyak hal yang telah berubah. Baik dalam rumah tangga
maupun diriku sendiri. Meski begitu, tak sedikit pula yang tidak berubah. Tetap
seperti itu sejak pertama kali.
Belakangan terakhir, saya malah
sering merasa sudah tua. *nyadarjuga. Merasa begitu banyak melewatkan
kesempatan untuk berilmu, beramal, dan berbuat baik. Sebaliknya saya semakin
bertanya-tanya, sebanyak apa waktu yang kuhabiskan untuk berleha-leha? Sejak
kapan saya menjadi makhluk mager level akut? *sejak lama. -_-
7 tahun yang lalu, saya punya
banyak sekali cita-cita. Di tahun ini, saya mengubah beberapa hal. Cita-cita
itu bukannya berkurang, namun lebih terseleksi dengan jelas. Apa saja goal
hidup yang menjadi prioritas. Ketimbang memasang terlalu banyak target dan
tujuan, hari ini saya memilih target prioritas, lalu fokus pada proses dan
langkah-langkah yang sedang dan ingin kujalani. Satu demi satu.
Saya pernah pada tahap merasa
tertinggal jauh. Saya pikir sudah terlambat untuk mengejar sekian capaian
dalam hidup. “Terima sajalah. Mungkin memang hanya sampai di sini.” Tapi itu
dulu, ketika fokusku dalam mencapai suatu hal selalu kubandingkan dengan orang lain. Saya
jarang sekali berpikir untuk menghargai diri. Saat apa yang sedang saya upayakan
menemui kegagalan, saya banyak sekali menyalahkan diri sendiri. Tanpa sadar,
kesyukuran yang harusnya saya miliki juga semakin tergerus.
Lalu proses belajar dan terus
belajar membuat saya banyak merenungi diri. Selama prosesnya, saya berupaya
me-reset pola pikir. Belajar bagaimana mengontrolnya dengan lebih baik. Hasilnya, saya jadi lebih
banyak menerima. Memaafkan segala ketidaksempurnaan. Mempelajari titik-titik
kekurangan, untuk kemudian diperbaiki pelan-pelan. Mensyukuri segala nikmat dan
karunia yang telah Allah berikan. Percayalah, semua itu sangat melegakan.
Ajaibnya, setelah saya lebih banyak menghadirkan penerimaan dalam diri, ekspektasi yang saya miliki perlahan ikut
menyesuaikan. Cita-cita dan tujuan yang tadinya saya pikir terlambat itu, justru
lebih jelas terlihat. Proses penyortiran mulai saya lakukan, baik dalam urusan
keluarga, pendidikan, dakwah, maupun pengembangan diri. Satu persatu dari
setiap lini, saya menentukan skala prioritas. Memberi target yang sesuai,
mengetahui posisi saya saat ini, dan jarak di antara keduanya. Untuk kemudian
merencanakan langkah dan proses yang akan dijalani berdasarkan kemampuan dan
kesiapan diri. Konsekuensinya, saya harus bertanggung jawab.
Tidak mudah. Tapi saat semua lebih
jelas, bukankah kaki ini akan lebih terbantu dalam melangkah? Ibarat
perbandingan antara orang yang berjalan dalam kegelapan bermodalkan lilin kecil
dengan bermodalkan lampu terang yang cukup. Tentu saja manusia butuh untuk
melangkah tanpa harus selalu meraba-raba.
Anw, keinginan untuk terus belajar
itu penting sekali, ya. Dengannya kita tidak merasa cukup dan berpuas diri
dengan ilmu juga pengalaman yang dimiliki. Tidak angkuh dengan segala
pencapaian. Tidak ingin berhenti dari beramal shalih, berkarya dan berusaha
untuk bermanfaat. Kita pun akan lebih mengenali kapasitas diri dan berupaya
meningkatkannya.
Terus belajar juga membuat kita
semakin menghargai orang lain. Tidak bermudah-mudah dalam menilai buruk
seseorang. Pada akhirnya kita pun semakin meyakini, bahwa setiap manusia,
termasuk diri kita tentu saja. Semua kita memilik potensi kebaikan dan
keburukan. Maka tugas kita sebagai hamba adalah berfokus pada upaya
mengembangkan potensi kebaikan itu. Tidak menyerah untuk menjadi baik. Jika
satu dua langkah kita terseok bahkan tersandung, kita tidak serta merta dengan
mudahnya menilai payah perjalanan kita. Dibanding terus menyalahkan diri tanpa
aksi perubahan, bukankah meminta ampun kepada Allah akan lebih baik?
Mempelajari penyebab kita tersandung, untuk kemudian melakukan tindakan
preventif pada langkah selanjutnya.
Hey, Anak baik itu bukannya dia
yang tak pernah salah dan gagal. Anak baik adalah dia yang paling cepat
menyadari kesalahannya, memperbaiki, dan tidak berhenti untuk menjadi
baik.
Finally, tibalah di akhir catatan hari ini, yang tema dan alurnya campur aduk seperti perasaanku. *ampumma. Semoga Berkah Allah menaungi kita semua, baik yang stay di rumah maupun mereka yang masih harus ke luar rumah. Bagi kita yang masih bisa memilih dan mengusahakan maksimal, yuk #dirumahaja Teriring doa tiada henti, Semoga Allah karuniakan kita kesehatan dan penjagaan sebaik-baik penjagaan. Dan saudara-saudara kita yang tengah berjuang, baik sebagai pasien maupun tim medis yang berada di garda terdepan, Allah berikan kekuatan fisik dan hati. Biidznillah, bersama kita saling memberi support dan doa.
Finally, tibalah di akhir catatan hari ini, yang tema dan alurnya campur aduk seperti perasaanku. *ampumma. Semoga Berkah Allah menaungi kita semua, baik yang stay di rumah maupun mereka yang masih harus ke luar rumah. Bagi kita yang masih bisa memilih dan mengusahakan maksimal, yuk #dirumahaja Teriring doa tiada henti, Semoga Allah karuniakan kita kesehatan dan penjagaan sebaik-baik penjagaan. Dan saudara-saudara kita yang tengah berjuang, baik sebagai pasien maupun tim medis yang berada di garda terdepan, Allah berikan kekuatan fisik dan hati. Biidznillah, bersama kita saling memberi support dan doa.
Selamat beribadah dan beraktifitas. Rajin cuci tangan, istirahat yang cukup dan konsumsi makanan bergizi, ya. Minum vitamin juga. Kalaupun harus keluar rumah, jangan lupa baca doa, pakai masker, dan jaga jarak dengan orang lain. Sebelum itu semua, yakinlah, Dzikrullah adalah yang tidak ada tandingannya. *ntms
Oke, saya mau lanjut dulu ngelapin keyboard ini pakai tissue basah antiseptik. -_- Wassalam.
Aisyah
Ikhwan Muhammad
0 komentar:
Posting Komentar