“Allahu Akbar..Allahu
Akbar..” sayup-sayup
suara adzan mulai terdengar, pertanda telah masuk waktu sholat ‘ashr. Sesekali kulirik
jam di tangan sambil tetap berkonsentrasi dengan lembar soal dan lembar
jawaban. Suasana ruang ujian begitu hening, pengawas di depan terlihat fokus mengawasi
setiap peserta ujian.
Kembali
kuperiksa jawaban yang mulai kutuliskan sejak sejam lebih yang lalu, setelah
yakin dengan jawaban yang kutulis, sayapun segera membereskan alat tulis,
melipat kertas soal dan memasukkannya kedalam saku, kemudian menutup lembar jawaban,
beranjak dari kursi dan memberikan lembar jawaban kepada pengawas. Sambil menggandeng
ransel di pundak, saya berjalan keluar kelas.
Lega. Iya, legaaaaa sekali. Rasanya, baru
kemarin saya mulai berkutat dengan muzakkiroh, kitab, talkhis dan sejenisnya,
dan Alhamdulillah akhirnya hari yang saya nantipun tiba ; hari terakhir Imtihan.
Serasa ingin teriak “Libur telah tiba, hatiku gembira!” hoho. :D Saya suka
sekali dengan perasaan sejenis ini, perasaan “plong” saat berhasil
melalui satu hal dengan izin Allah.
Imtihan kali
ini punya ceritanya sendiri. Tentu saja berbeda dengan imtihan yang saya jalani
semasa di Ma’had lughoh dulu. Bukan hanya pelajarannya yang memang otomatis
bertambah rumit tapi juga cerita di baliknya.
Kira-kira pertengahan
bulan desember kemarin saya bahkan masih belum pasti akan ikut ujian atau
tidak. Sempat suami mengutarakan pendapatnya, kalau sebenarnya tidak mengapa
saya tidak ikut ujian, sebab kemungkinan besar saya juga akan tetap keluar dari
Diplom ‘Uluum Syar’iyyah untuk kemudian mendaftar Kuliah S1 (lagi). Saya juga sempat
mengamini pendapat suami, “iya juga yah, daripada menguras waktu dan tenaga
untuk ujian tapi pada akhirnya akan keluar juga” pikir saya saat itu. Tapi setelah
berkonsultasi dengan Aba, ternyata aba justru tidak setuju dan berharap saya
tetap ikut ujian dengan berbagai pertimbangan.
Setelah
berdiskusi dengan suami, meditasi (?), plin-plan, sebentar iya sebentar
tidak, saya dan suami pun akhirnya memutuskan kalau saya akan tetap ikut ujian,
kepulangan ke Indonesiapun diundur menjadi 2 minggu setelah saya selesai ujian.
Sebenarnya saya jenis orang yang sangat tidak suka mengerjakan sesuatu dengan
setengah-setengah. Kadang saya bahkan lebih memilih mundur dengan pecundangnya
saat saya tau saya tidak bisa maksimal dalam suatu pekerjaan. Sebab itulah saya
mikir nya lama pake banget. Meski begitu saya juga tetap suka dengan
tantangan.
3 minggu
sebelum ujian saya akhirnya mulai mempersiapkan diri untuk imtihan, waktu yang
ternyata masih kurang, ditambah dengan banyaknya muhadhoroh yang tidak saya
ikuti. Yah, lagi-lagi disebabkan qobul yang terlambat. ‘Alaa kulli
hal saya pun mulai berkonsentrasi dan memaksimalkan diri, meski perasaan “terdampar”
itu tetap sesekali mengusik. Saya memang satu-satunya orang indonesia di kelas
yang hampir seluruhnya didominasi oleh orang Sudan. Adapun dari negara
lain mungkin hanya ada 3 orang. Bahkan, saat ini mungkin saya satu-satunya
mahasiswa indonesia yang kuliah di diplom washit jamiah ifriqiyah. Ckck.
Padahal kalau melihat di Kulliyah lain, orang Sudan kalah banyak dengan mahasiswa-mahasiswi asing dari berbagai negara. Ternyata oh ternyata, di Jamiah
ini orang sudan kebanyakan kuliah di Diplom. Setidaknya dari yang saya lihat
seperti itu.
Kemudian
dimulailah hari-hari persiapan hingga hari-hari imtihan. Seperti yang pernah
saya tuliskan di Cerita Imtihan (Part 1), saya tipe orang yang kalau lagi ujian seakan berpindah ke dunia lain, plus saat belajar itu
berisiknya minta ampun, walhasil suasana rumah 2 minggu terakhir ini dihiasi
dengan suara berisik saya saat belajar. “saya itu kayak bercemin isyaah!” komentar
kak rozi disela-sela keberisikan saya. Wajar saja dia merasa bercermin, sebab
cara belajar saya dan dia memang sebelas-dua belas, tidak jauh beda. Meski menurutnya
saya ini lebih ekstrem beberapa tingkat.
4 hari
terakhir hingga tadi malam, saya memang terpaksa harus begadang dan bahkan tidak tidur
sampai subuh. Sebab 3 maddah terakhir yang juga berat-berat akan saya ujiankan
berturut-turut selama 3 hari tanpa jeda, berdempetan bagaikan perangko. Mungkin
itulah yang membuat kak rozi berpikir saya ini tipe ekstremis dalam hal
belajar. -_-
Selama masa imtihan
beberapa kali komentar bernada ngambek dilontarkan suami saya, “kapokka’ isyah,
kapok kurasa kalau kita ujian” dengan sangat saya sadari, dia terlihat berusaha
membuyarkan konsentrasi saya dengan berbagai macam hal, seperti mempengaruhi,
menghasut kalau saya itu harusnya santai saja, tidak perlu serius-serius amat,
dan lain sebagainya. Beruntung saya tidak terpengaruh. Haha. :p Setelah gagal menghasut dia biasanya hanya
bilang, “sepertinya mudzakkirah lebih pentingmi dari suami di’..hmm..” Meski begitu, dia tetap saja banyak membantu saya saat ada pelajaran yang tidak saya pahami. Padahal dia juga tengah sibuk dengan proposal thesis, Ijroaat untuk tajdid Iqomah, khuruj audah, dan visa umroh. Alhamdulillah
Setelah
Imtihan berakhir, saya kembali menyadari bahwa pilihan saya untuk tetap ikut
ujian adalah tepat. Saya sangat bersyukur. Kalaupun saya akan keluar dari
diplom, toh bukankah ilmu yang sudah saya pelajari tidak akan sia-sia? Apalagi
jika saya amalkan dan sampaikan ke orang lain. Bahkan di beberapa maddah yang
saya pelajari di diplom, juga di pelajari teman-teman di dirosat. Untuk maddah
yang sama, bahan pembelajarannya pun sama. Sebab itulah saya berpikir, takdir saya terdampar di diplom ini insya Allah tidak
akan sia-sia. Kalau tahun ini saya diterima kuliah di Bachelor (aamiin), maka
apa yang sudah saya pelajari di diplom ini tentu akan sangat bermanfaat. Kalaupun
tidak diterima dan ada jalan lain yang Allah takdirkan untuk saya, maka tetap
saja, ilmunya jika diamalkan dan didakwahkan tidak akan sia-sia. Semua pasti
ada hikmahnya.
Finally,
saya akhirnya harus mulai mempersiapkan berbagai macam hal untuk kepulangan ke
indonesia 2 minggu lagi. Rasanya sudah kangeeeeen sekali. Dengan indo, dengan
makassar, keluarga, dan tentu saja makanan khas makassar. Selama ujian salah
satu yang menjadi penyemangat saya adalah dengan membayangkan songkolo
bagadang, mie titi, pallumara, coto makassar, sop saudara, pallubasa, es pisang
ijo, es kelapa muda, ahh... tidak ada habisnya. Makassar memang ngangenin
parah.
Beberapa hari
kedepan saya mungkin akan disibukkan dengan packing dan beres-beres rumah. Sebab
selama saya pulang nanti, rumah yang saya tempati untuk sementara akan ditempati
oleh beberapa orang syabab untuk mengisi kekosongan rumah. Maklum, cari rumah untuk
disewakan di Sudan itu susah bingits, so kalau sudah dapat rumah yang
sreg di hati dengan harga terjangkau harus dijaga baik-baik.
Baru saja
suami saya kembali berkomentar, “Isyah, sadar tidak sudah 2 minggu saya diduakan dengan mudzakkiroh, masa habis
imtihan saya diduakan lagi dengan laptop?” hahaha.
Okelah. Sepertinya
saya harus mengakhiri celotehan saya kali ini. Seperti biasa, saya menuliskan ini
semua memang untuk saya kenang suatu hari nanti. Karena saya memang senang
mengenang banyak hal, atau dengan kata lain “sulit move on” sukanya
mengubek-ngubek kenangan. Seringakali saat lagi down, membaca cerita-cerita yang saya tulis bisa menjadi
penyemangat, membuat saya ketawa-ketiwi sendiri dan kembali ceria. Hehe.
Sipp lah. Sampai
jumpa di cerita imtihan selanjutnya. Sehabis ini mungkin saya akan “sedikit” puas-puasin
diri buat tidur. Mengingat lingkaran hitam di bawah mata saya sudah mencapai
level akut, sedikit lagi saya bertampang psycho. Nauudzubillah -_- Okeeee
sudahmi! Bye!
Khartoum, 21
Januari 2016.
#H-13 pulang
ke indo Insyaa Allah.
Aisyah
Ikhwan Muhammad.