46 Hari telah berlalu, dan saya masih disini dengan rindu yang beserakan disetiap bagian hatiku. 11 hari lagi dan penantian ini akan terbayarkan dengan izin Allah. tidak terlewat satu haripun kecuali saya kembali menghitung hari. Nyaris lebay memang. :P
Selama satu bulan setengah ini, ada begitu banyak moment
yang jika bukan karena Allah maka sudah pasti saya tidak mampu melewatinya. Di hari
dia pergi, di hari dia meninggalkan saya di negeri Sudan ini, saya ikut
mengantarkannya ke bandara melepasnya untuk berjuang mengemban amanah sebagai
temus haji juga melaksanakan ibadah haji. Suatu kesyukuran yang teramat sangat
bagi saya dan baginya. Di sisi lain, ada perasaan sedih tak terbendung saat
melihat sosoknya menghilang di balik pintu keberangkatan. Untuk pertama kalinya saya harus di Sudan tanpa suami. Kemudian dimulailah
hari-hari penuh air mata, jatuh bangun, dan pikiran yang dipenuhi oleh sosok
yang teramat kucintai karena Allah.
10 hari pertama dia pergi, saya masih di rumah bersama kakak
icha dan kedua anaknya, my jaza dan my tibi ^^ meski berat, namun Alhamdulillah
saya masih bisa membaik dari hari ke hari. Disaat saya mulai bisa menata hati, kakak icha pun harus kembali ke indonesia,
hari itu adalah kesedihan terdalam saya setelah hari kepergian kak rozi. Setahun
kehadirannya di Sudan membuat kehidupanku di Sudan begitu berwarna.Sosok kakak yang begitu kucintai dan kubanggakan juga ikut meninggalkanku
di negeri perjuangan ini. Setelah setahun perjalanan, jatuh bangun, semangat,
air mata, dan berbagai moment kami lalui bersama.
Mungkin setahun terlihat
singkat. Tapi saya teramat tahu betapa dia berjuang melalui semua dengan senyum
cerahnya. Saya tahu bagaimana semangatnya dalam menuntut ilmu, betapa
excitednya dia menuntut ilmu di Ma’had Lughoh. Sayapun tahu, bahwa semangat
menuntut ilmu yang sejak kecil dimilikinya akan terus menetap di hatinya biidznillah.
Di bandara saya seakan tidak ingin melepas pelukannya, saya
hanya bisa membisikkan, “kakak icha, takut...” dia membisikkan kata-kata
semangat yang membuat saya semakin berat melepasnya, sosoknya pun menghilang di
balik pintu keberangkatan. Kakak icha, abang jaza dan adek tibiy pergi, hari-hari
yang lebih beratpun kembali di mulai.
Hari itu saya benar-benar merasa sendiri. Sepulang dari
bandara, saya kembali ke rumah. Seorang diri membuka pintu rumah dan... hening.
Sepi. Saya belum menangis, semuanya masih tertahan. Saat ingin mengunci pintu,
qaddarallah kunci pintu rusak, silindernya
perlu diganti. Saya kemudian mulai melepas satu persatu mornya, sambil
memutar obeng, pikiran saya mengambang, sendiri, sepi, dan sedang memperbaiki
pintu -_- Sebentar lagi maghrib dan saya harus menyelesaikannya secepat
mungkin.
Tapi mungkin karena hati saya sudah terlalu sesak, saya
berhenti dengan kegiatan memperbaiki pintu, dan hanya bisa terduduk bersandar
di balik pintu, dan dimulailah drama bergenre melow, saya menangis sesegukan,
sebentar-sebentar terdiam berusaha menahan kesedihan, lalu menangis lagi. Butuh
waktu setengah jam untuk saya menata hati, paling tidak saya harus memperbaiki kunci pintu agar aman. Kembali dengan kegiatan
memperbaiki kunci yang juga sambil menitikkan air mata. Saat saya mengingat
moment itu saya jadi berpikir betapa menyedihkannya pintu yang rusak, saya sampai
harus menangis sambil memperbaikinya :p yap,
butuh setidaknya 3 paragraf untuk menuliskan kisah kunci pintu rusak ini.
-_____-
Pintu selesai beberapa saat sebelum maghrib. Saya masih di
rumah dengan perencanaan yang sudah ada sebelumnya. Namun ternyata Allah punya
rencana lain untuk saya hari itu. Beberapa saat setelah pintu selesai saya
perbaiki, langit berubah merah, angin berhembus kencang, ghubar datang menyapa.
Sebelum ghubar, listrik terlebih dahulu padam. Dalam kondisi yang masih sedih
saya mulai ketakutan. Sendiri di rumah, mati lampu, dan ghubar di malam hari. Saat
itu takut mendominasi. Saya mulai mengabari beberapa orang. skenario yang telah
Allah takdirkan buat saya terus berjalan hingga akhirnya suami dan aba saya
sama-sama menginstruksikan untuk segera ke rumah salah seorang akhwat di daerah
arkaweet yang kebetulan tak begitu jauh dari rumah saya di daerah markaz
islami.
Sesampainya disana, saya mulai lebih tenang dan merasa aman.
Hari-hari kembali berlalu. Berbagai moment masih terus datang silih berganti,
masih terus melibatkan air mata, tak jarang pula di warnai dengan senyum
semangat dan optimisme. Seperti saat saya harus melalui lebaran pertama kalinya
tanpa suami dan keluarga di negeri orang, Allah justru menghadirkan
saudari-saudari fillah di sekitar saya, bersama mereka semua saya menjalani
lebaran idul adha tanpa kesedihan. Sebaliknya saya tersenyum penuh semangat
berharap hari esok lebih baik, meski rindu itu tetap saja membumbung tinggi
sekali. :p
Hari-hari berikutnya saya harus menata hati yang jatuh
bangun menanti kabar mengenai qobul bersama 55 orang calon mahasiswa-mahasiswi
baru lainnya. Hingga kabar baik datang dengan keluarnya qobul 56 orang tersebut
termasuk saya, namun ternyata Allah menakdirkan jalan lain untuk saya tempuh. Saat
itu saya, suami, dan kedua orangtua masih belum menyerah. Kami mengusahakan
yang terbaik, beberapa hari pulang balik idaroh qobul, meminta bantuan kesana
kemari hingga akhirnya keputusan tetap tidak berubah. Saat itu saya pasrah dan
meyakinkan diri, bahwa inilah yang terbaik buat saya. InsyaAllah tahun depan
masih ada kesempatan. Aamiin. Saya harus menjalani apa yang Allah takdirkan buat
saya saat ini dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur. Dengan perasaan lega tanpa
beban saya akhirnya mengikuti muayanah, melalui proses ijroaat, dsb hingga bisa
memulai kuliah.
Dengan sangat terasa, waktu terus berlalu atas izin Allah,
tiada hari kecuali bertambah cinta dan rinduku padanya karenaNya. Satu hal yang
saya sadari selama perpisahan ini, bahwa ujian mampu mendekatkan kita padaNya. Mampun
menambah rasa syukur dan sabar di dalam hati. Membuat saya lebih berani,
mandiri, dan tidak bergantung kepada siapapun kecuali kepada Allah.
Perpisahan ini membuat hatiku begitu dekat dengan hatinya. Membuat
saya begitu bersyukur memiliki suami dan kedua orangtua yang tak pernah henti
mendukung dan mengusahakan yang terbaik untuk saya, membuat saya bertekad untuk
bisa menjadi istri yang lebih baik lagi, taat dan berakhlaqul karimah, anak
yang lebih berbakti dan membahagiakan ummi dan aba.
Hingga akhirnya perpisahan inipun membuat saya menyadari, betapa
saya mencintai dia dengan berbagai kelebihan dan kekurangan kami berdua. Semoga Allah
senantiasa meneguhkan diriku dan dirinya, dalam perjalanan penuh onak duri ini, perjuangan dalam
meraih keridhaanNya, dan dalam mengejar cita dan impian pernikahan kami, bersama
hingga ke SyurgaNya. Aamiin yaa Mujiibas-saailin.
Khartoum, 23 oktober 2015.
Aisyah ikhwan Muhammad.
4 komentar:
Mewek :'(
Semangat aisyaah! ;')
Syukraan, bumil cantiik.. heheh :D
Afwan mau tanya, ana sangat tertarik dg kehidupan mahasiswa di sudan, ana lulusan di lipia jakarta, pengajarnya sebagian orang sudan, ana smpat akrab dg salah seorang ustadz, tp qadarullah beliau sudah meninggal. Ana sering diceritakan ttg keadaan negaranya, smpe ana sangat tertarik ingin ke sana, ana punya keinginan pergi ke sudan,bisakah ana minta bantuan info dll?
Afwan baru bls, untuk info sudan, bisa add/inbox fb PPI Sudan. syukran.
Posting Komentar