Setiap kali berbicara mengenai kedua orang tua, tak ada hal
lain selain haru mengingat segala perjuangan, pengorbanan dan jerih payah
mereka dalam mengarungi kehidupan, membesarkan dan mendidik putra-putrinya
dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Hingga hari ini saya masih terus menangis dengan “jabe”nya
ketika mengingat mereka. Baik ketika saya berada dekat dengan mereka, terlebih lagi
ketika saya berada jauh, terpisah oleh jarak dari ummi dan aba.
Hari ini seperti biasanya, menjalani rutinitas sehari-hari,
berangkat kuliah, naik reksya bersama suami, tak lupa membayar sejumlah pound sebelum
turun dari reksya. Selanjutnya menyeberangi jalan raya 2 arah untuk kemudian sampai
ke jami’ah ifriqiyah banat. Atau yang lebih kerennya, International University
Of Africa. Hehe.
Tiba sejam sebelum masuk kelas nyatanya menjadi sangat
bermanfaat. Langsung saja saya masuk ke dalam perpustakaan, bertemu teman yang
sejak kemarin telah janjian, kemudian dengan segera mengeluarkan buku2 dan alat
tulis untuk menyalin beberapa materi yang belum saya dapatkan.
Sejuknya ruang perpustakaan membuat saya tak menyadari waktu
yang terus berlalu, hingga pukul 13.24 barulah saya menyadari, bahwa 6 menit lagi
pelajaran akan segera dimulai. Saya dan temanpun bergegas keluar dari
perpustakaan dan langsung berjalan menuju kelas. sungguh perbedaan udara yang
sangat siginifikan. Di kelas panas terasa sangat menyengat sedang di perpustakaan
tentu saja sejuk dan adem, bagaiamana tidak, Ac dengan indahnya nangkring di
sudut-sudut ruangan. Namun inilah ujian dalam menuntut ilmu. Ujian yang tentu (catat: Sangat-sangat!) tak seberapa dengan ujian yang dihadapi para penuntut ilmu di
zaman2 terdahulu
Pelajaran pertama dimulai, Al Qur’an. Seperti biasa ustadzah
akan menyuruh salah satu dari kami untuk membacakan surah yang akan dihafalkan,
baru kemudian tholibaat lain nya akan membaca setelahnya. Di indonesia kita tentu
sudah tak asing dengan tahsinul qira’ah.
Pelajaran Al Qur’an hari ini berjalan dengan lancar. Kebetulan
saat itu giliran saya yang mentahsin teman2 sekelas. Saya dan salah seorang
teman memang diamanahkan untuk bergiliran mentahsin teman sekelas. Terkadang jika
ustadzah tak masuk kami akan bergiliran menggantikan ustadzah mengajarkan Al
Qur’an.
Hingga pelajaran pun berganti. Pelajaran kedua adalah ta’bir.
Ustadzah kemudian masuk ke kelas setelah beberapa menit waktu istirahat. Tak seperti
biasanya tholibat dari kelas lain ikut bergabung di kelas kami. Ternyata hari
ini kami memiliki materi pelajaran yang sama “BIRRUL WALIDAIN”
Ustadzah yang satu ini memang terkenal kreatif. Ia lebih
suka mengajar dengan cara yang variatif. Seperti hari ini ia membuat semacam
perlombaan, dan membagi kami dalam 2 kelompok. Setiap kelompok akan naik satu
orang perwakilan untuk berbicara mengenai birrul walidain. Begitu seterusnya
bergantian kelompok 1 dan 2. Selanjutnya ustadzah akan memberikan nilai pada
masing-masing pembicara yang kemudian akan menjadi nilai untuk kelompok mereka.
Pembicara pertama, ia menceritakan kesehariannya saat ia
berada di negaranya. Bagaimana ia membantu umminya di rumah. Bagaimana ia
mengkhidmat kedua orangtuanya saat sehat maupun sakit. Saya yang mendengar
entah kenapa ikut membayangkan hari-hari ketika di indonesia. Pekerjaan sehari-hari yang terlihat sepele namun nyatanya dapat menjadi bagian dari bakti kita kepada
kedua orangtua. Pembicara selanjutnya juga sama. Ia banyak menceritakan
kesahariannya ketika bersama kedua orangtua.
Hingga sampai kepada salah seorang pembicara dari kelompok
kami, ia berbicara dengan lancar masyaAllah. Ia cukup berbeda, ia menyampaikan bagian
dari baktinya kepada kedua orangtua adalah ketika ia membangunkan kedua
orangtuanya untuk sholat subuh berjamaah. Ketika ia berusaha untuk mengajarkan
islam kepada ayahnya yang ternyata masih non muslim. Namun ia bersyukur sebab
ibunya adalah muslimah. Ia bersedih ketika melihat ayanya yang membaca injil
sementara ibunya membaca Al Qur’an. Ia menangis saat menceritakan bahwa ayahanya
menganggap tuhan adalah yesus. Sambil tersedu2 ia menyampaikan, bahwa bagian
dari birrul walidainnya adalah ia berangkat ke sudan atas restu ibunya, untuk
mempelajari islam, kemudian pulang ke negaranya untuk mendakwahkan islam pada
ayah dan keluarganya, Insya Allah.
Subhanallah... betapa banyak yang harus kita sadari! Terutama
dan paling utama adalah saya sadari! Kesyukuran yang teramat sangat adalah
bahwa kita mendapati diri kita terlahir sebagai muslim/muslimah, kedua orangtua,
sanak keluarga adalah muslim/muslimah. Subhanallah. Pelajaran yang sangat
berharga. Sedangakan muslimah yang ayahnya kafir saja, rela berjuang untuk mendakwahkan
islam kepada ayahnya, dan dengan itulah ia berbakti. Lalu bagaiamana kita
dengan kita yang memiliki orangtua yang jelas muslim/muslimah, dengan apa kita
berbakti!? Dengan apa saya berbakti!?
Pertanyaan pertanyaan itu menohok tak henti dalam lamunan
ku, hingga bisikan-bisikan dari teman-teman sekelompok akhirnya menyadarkan
saya. Ternyata giliran sudah kembali sampai pada kelompok kami, dan teman-teman tak hentinya mendorong saya untuk maju kedepan. Mau tak mau saya kemudian bangkit
dari duduk dan berjalan ke depan. Yah, dengan bahasa arab pas-pasan apa yang
akan saya sampaikan?
Ustadzah terlebih dahulu mennyampaikan bahwa saya adalah
pembicara yang terakhir. Saya kemudian mulai berbicara sambil membayang kan
wajah ummi dan aba. Salam lalu menjadi pembuka dan awal dari kalimat demi kalimat
yang keluar dari mulut saya. Sekali lagi membayang kan perjuangan mereka, peluh
dan kerja keras mereka! Dengan apa saya berbakti?? Tak terasa air mata menetes tanpa diperintah, bahkan saat saya
paksa ia untuk berhenti, ia tak juga berhenti.
Sambil berusaha menahan tangsi, saya mencoba untuk berbicara di depan ustadzah dan
tholibat...
Saat di indonesia, mungkin ada banyak hal yang bisa saya
lakukan untuk mereka. Seperti membantu mereka dalam pekerjaan harian. Mengkhidmat
mereka saat mereka butuh. Menemani mereka dalam bekerja dan berdakwah di jalan
Allah. Membersamai mereka dalam perjuangan membumikan Al Qur’an. Saya dan saudara2
saya menjadi saksi betapa mereka jatuh bangun dalam perjuangan di jalan dakwah, juga saat mereka baru mulai
merintis Daurah 40 hari menghafal Al Qur’an,
hingga hari ini ketika telah banyak orang di negeri indonesia yang telah mengenal
Daurah dan tersinari akan indahnya cahaya Al Qur’an dengan Izin Allah.
Namun ketika saya jauh, saat saya kembali ke negeri ini,
Sudan. Dengan apa saya berbakti? Bagaimana saya membantu mereka?
DOA! Doa adalah kunci utama. Doakan mereka disetiap sholat
dan waktu2 mustajab. Doakan mereka dengan doa2 terbaik dan terkhusyuk yang kita
bisa. Doakan mereka untuk diberikan kesehatan dan penjagaan terbaik dari Allah
subhanhu wata’ala. Agar kita dikumpulkan di jannahNya kelak insyaAllah
Kemudian setelah itu, hafalkanlah Al Qur’an. Saya tahu dan
saya sadar, saya masih terus dalam tahap murojaah. Hafalan saya masih amat sangat
dhoif. Namun saya ingin terus berjuang untuk mengitqankan hafalan ini, agara
dapat menjadi syafaat di akhirat kelak. Menyaksikan mereka dipakaikan mahkota
dan jubah kemuliaan, adalah cita-cita mulia yang saya tambatkan di sini, di
dalam hatiku.
Kemudian setelah itu, belajar dengan sungguh-sungguh! Menuntut
ilmu tanpa kenal lelah. Di perantauan ini, adakalanya saya merasa down, adakalanya
saya merasa tak mampu. Seperti saat saya harus ketinggalan pelajaran selama 2
bulan lebih, dikarenakan kepulangan saya untuk berobat dan mengurusi berbagai
kepentingan lainnya, dengan imtihan yang tinggal 2 pekan lagi. Namun kembali
ummi dan aba meyemangati! “Ijtahidy yaa Aisyah!” kalimat itu bagaikan kalimat
mutira yang terus saya bawa kemanapun saya melangkah. Mereka adalah motivator
luar biasa. Hingga sekali lagi saya menyadari, betapa perjalanaan saya dalam
menuntut ilmu ini adalah bagian dari birrul walidain. Mungkin saya jauh dari
mereka. Namun dengan inilah saya berbakti Insya Allah. Maka dengan itu niat
untuk belajar dengan sungguh-sungguh semakin tertancap di dalam hati.
Saya kemudian mengakhiri pembicaraan saya, sembari mengusap
bekas air mata yang dengan “lebay” menetes tanpa diminta. Saya melihat
teman-teman yang lain ikut menangis, mata mereka memerah, mungkin membayang
orangtua mereka masing-masing. ustadzah kemudian berterima kasih kepada saya
sambil tersenyum, beliau lalu membacakan doa kepada kedua orangtua dengan
khidmat, diakhiri dengan ucapan “aamiin” dari seluruh tholibat yang ada di
kelas.
Subhanallah, betapa indahnya Birrul Walidain. Ia menjadi
kewajiban bagi setiap diri kita tanpa terkecuali. Baik saat kita berada dekat
dengan mereka, atau saat kita masuk dalam barisan para perantau. Untuk teman2
yang sedang menunutut ilmu, jauh dari orang tua, percayalah, selalu ada jalan
untuk kita berbakti pada orangtua. Seperti mendoakan mereka, belajar
bersungguh2, atau bahkan menyisihkan uang saku demi membeli pulsa untuk
menelepon mereka ditanah air. Mungkin saja mereka sedang sedih. Mungkin saja
mereka sedang rindu dengan anak-anaknya yang kini jauh dari mereka.
Indah bukan, ketika kita bisa mendengar suara mereka? Itulah
yang saya rasakan. Mendengar mereka melantunkan kalimat-kalimat nasehat membuat
saya selalu tersenyum, bahkan terkadang menangis tertahan, lalu kemudian
menyadari, lagi..lagi, dan lagi! Betapa berartinya orangtua dalam kehidupan
ini. Hingga ikut tersadar, lagi..lagi, dan lagi! Betapa banyak DOSA yang telah
saya perbuat kepada mereka. Astaghfiruka ya Allah...:’(
Hari ini, di negeri rantau ini, dengan panas yang kian
menghempas, sungguh! Pun dengan ghubar yang merengsek masuk hingga ke paru-paru,
saya hanya ingin menyampaikan kepada diri saya sendiri, bahwa MENYERAH BUKANLAH PILIHAN!
Ummi aba..Terima kasih untuk semuanya, segalanya,
seluruhnya! Maafkan anakmu ini yang telah begitu banyak melakukan DOSA kepada kalian. semoga dengan langkah demi
langkah yang anakmu ini tapaki di negeri sudan, dapat menjadi bagian dari
baktinya kepada kalian, Ummi aba. Anakmu ini, sungguh sangat mencintai kalian karena
Allah. J